Skip to main content

Pemikiran Ekonomi Menurut Al Mawardi

        Pada dasarnya,pemikiran ekonomi Al-Mawardi tersebar paling tidak pada tiga buah karya tulisnya,yaitu Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din,al-Hawi dan al-Ahkam as-Sulthaniyyah.Dalam Kitab Adab ad-Dunya wa ad-Din,ia memaparkan tentang perilaku ekonomi seorang muslim serta empat jenis mata pencaharian utama,yaitu pertanian, peternakan, perdagangan dan industri.Dalam Kitab al-Hawi,disalah satu bagiannya,Al-Mawardi secara khusus membahas tentang mudharabah dalam pandangan berbagai mazhab.Dalam Kitab al-Ahkam as-Sulthaniyyah,ia banyak menguraikan tentang sistem pemerintahan dan administrasi negara islam,seperti hak dan kewajiban penguasa terhadap rakyatnya,berbagai lembaga negara,penerimaan dan pengeluaran negara,serta institusi hisbah.


      Dari ketiga karya tulis tersebut,para peneliti ekonomi Islam tampaknya sepakat menyatakan bahwa al-Ahkam as-Sulthaniyyah merupakan kitab yang paling komprehensif dalam merepresentasikan  pokok-pokok pemikiran ekonomi Al-Mawardi.Dalam kitabnya tersebut,Al-Mawardi menempatkan  pembahasan ekonomi dan keuangan negara secara khusus pada bab 11,12,dan 13 yang masing-masing membahas tentang harta sedekah,harta fai dan ghanimah,serta harta jizyah dan kharaj.
Analisis komparatif atas kitab ini dengan karya-karya sebelumnya yang sejenis menunjukkan bahwa Al-Mawardi membahas masalah-masalah keuangan dengan cara yang lebih sistematis dan runtut.Sumbangan utama Al-Mawardi terletak pada pendapat mereka tentang pembebanan pajak tambahan dan dibolehkannya peminjaman publik.

Negara dan Aktivitas Ekonomi
            Teori keuangan publik selalu terkait dengan peran negara dalam kehidupan ekonomi.Negara dibutuhkan karena berperan untuk memenuhi kebutuhan kolektif seluruh warga negaranya.Permasalahan ini pun tidak luput dari perhatian Islam.Al-Mawardi berpendapat bahwa pelaksanaan Imamah(kepemimpinan politik keagamaan) merupakan kekuasaan mutlak (absolut) dan pembentukannya merupakan suatu keharusan demi terpeliharanya agama dan pengelolaan dunia.
            Dalam perspektif ekonomi,pernyataan Al-Mawardi ini berarti bahwa negara memiliki peran aktif demi terealisasinya tujuan material dan spiritual.Ia menjadi kewajiban moral moral bagi penguasa dalam membantu merealisasikan kebaikan bersama,yaitu memelihara kepentingan masyarakat serta mempertahankan stabilitas dan pertumbuhan ekonomi.Dengan demikian,seperti para pemikir Muslim sebelumnya,Al-Mawardi memandang bahwa,dalam Islam,pemenuhan kebutuhan dasar setiap anggota masyarakat bukan saja merupakan kewajiban penguasa dari sudut pandang ekonomi,melainkan juga moral dan agama.
            Selanjutnya Al-Mawardi berpendapat bahwa negara harus menyediakan infrastruktur yang diperlukan bagi perkembangan ekonomi dan kesejahteraan umum,Menurutnya,
‘’jika hidup di kota menjadi tidak mungkin karena tidak berfungsinya fasilitas sumber air minum atau rusaknya tembok kota,maka negara bertanggung jawab untuk memperbaikinya dan,jika tidak memiliki dana,negara harus menemukan jalan untuk memperolehnya’’
            Al-Mawardi menegaskan bahwa negara wajib mengatur dan membiayai pembelanjaan yang dibutuhkan oleh layanan publik karena setiap individu tidak mungkin membiayai jenis layanan semacam itu.Dengan demikian,layanan publik merupakan kewajiban sosial(fardh kifayah)yang harus bersandar kepada kepentingan umum.Pernyataan Al-Mawardi ini semakin mempertegas pendapat para pemikir Muslim sebelumnya yang menyatakan bahwa untuk pengadaan proyek dalam kerangka pemenuhan kepentingan umum,negara dapat menggunakan dana Baitul Mal atau membebankan kepada individu-individu yang memiliki sumber keuangan yang memadai.Lebih jauh,ia menyebutkan tugas-tugas negara dalam kerangka pemenuhan kebutuhan dasar setiap warga negara sebagai berikut:
a.       melindungi agama.
b.      Menegakkan hukum dan stabilitas.
c.       Memelihara batas negara Islam.
d.      Menyediakn iklim ekonomi yang kondusif.
e.       Menyediakan administrasi publik,peradilan,dan pelaksanaan hukum islam.
f.       mengumpulkan pendapatan dari berbagai sumber yang tersedia serta menaikkannya dengan menerapkan pajak baru jika situasi menuntutnya,dan.
g.      Membelanjakan dana-dana Baitul Mal untuk berbagai tujuan yang telah menjadi kewajibannya.
            Seperti yang telah disebutkan,negara bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara serta merealisasikan kesejahteraan dan perkembangan ekonomi secara umum.Sebagai konsekuensinya,negara harus memiliki sumber-sumber keuangan yang dapat membiayai pelaksanaan tanggung jawabnya tersebut.Berkaitan dengan hal ini,Al-Mawardi  menyatakan bahwa kebutuhan negara terhadap pendirian kantor lembaga keuangan negara secara permanen muncul pada saat terjadi transfer sejumlah besar dana negara dari berbagai daerah ke pusat.
            Seperti halnya para pemikir Muslim abad klasik,Al-Mawardi menyebutkan bahwa sumber-sumber pendapatan negara islam terdiri dari zakat,ghanimah,kharaj,jizyah,dan ushr.Terkait dengan pengumpulan harta zakat,Al-Mawardi membedakan antara kekayaan yang tidak tampak.Pengumpulan zakat atas kekayaan yang tampak ,seperti hewan dan hasil pertanian,harus dilakukan langsung oleh negara,sedangkan pengumpulan zakat atas kekayaan yang tidak tampak,seperti perhiasan dan barang dagangan,diserahkan kepada kebijakan kaum muslimin.
            Lebih jauh,Al-Mawardi berpendapat bahwa dalam hal sumber-sumber pendapatan negara tersebut tidak mampu memenuhi kebutuhan anggaran negara atau terjadi defisit anggaran,negara diperbolehkan untuk menetapkan pajak baru atau melakukan pinjaman kepada publik.Secara historis,hal ini pernah dilakukan oleh Rasulullah Saw.Untuk membiayai kepentingan perang dan kebutuhan sosial lainnya di masa awal pemerintahan Madinah.
            Menurut Al-Mawardi,pinjaman publik harus dikaitkan dengan kepentingan publik.Namun demikian,tidak semua kepentingan publik dapat dibiayai dari dana pinjaman publik.Ia berpendapat bahwa ada dua jenis biaya untuk kepentingan publik,yaitu biaya untuk pelaksanaan fungsi-fungsi mandatory negara dan biaya untuk kepentingan umum dan kesejahteraan masyarakat.Dana pinjaman publik hanya dapat dilakukan untuk membiayai berbagai barang atau jasa yang disewa oleh negara dalam kerangka mandatory funchtions.Sebagai gambaran Al-Mawardi menyatakan bahwa ada beberapa kewajiban negara yang timbul dari pembayaran berbasis sewa,seperti gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata.Kewajiban seperti ini harus tetap dipenuhi terlepas dari apakah keuangan negara mencukupi atau tidak.Apabila dana yang ada tidak muncukupi,negara dapat melakukan pinjaman kepada publik untuk memenuhi jenis kewajiban tersebut.
       Dengan demikian,menurut Al-Mawardi,pinjaman publik hanya di perbolehkan untuk membiayai kewajiban negara yang bersifat mandatory functions.Adapun terhadap jenis kewajiban yang bersifat lebih kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat,negara dapat memberikan pembiayaan yang berasal dari dana-dana lain,seperti Pajak.
            Pernyataan Al-Mawardi tersebut juga mengindikasikan bahwa pinjaman publik dilakukan jika didukung oleh kondisi ekonomi yang ada dan yang akan datang serta tidak bertujuan konsumtif.Disamping itu,kebijakan pinjaman publik merupakan solusi terakhir yang dilakukan oleh negara dalam menghadapi defisit anggaran.

Perpajakan
           Sebagaimana trend pada masa klasik,masalah perpajakan juga tidak luput dari perhatian Al-Mawardi.Menurutnya penilaian atas kharaj harus bervariasi sesuai dengan faktor-faktor yang menentukan kemampuan tanah dalam membayar pajak,yaitu kesuburan tanah,jenis tanaman dan sistem irigasi.
         Lebih jauh,Ia menjelaskan alasan penyebutan ketiga hal tersebut sebagai faktor-faktor  penilaian kharaj.Kesuburan tanah merupakan faktor yang sangat penting dalam melakukan penilaian kharaj karena sedikit- banyak jumlah produksi bergantung kepadanya.Jenis tanaman juga turut berpengaruh terhadap penilaian kharaj karena berbagai jenis tanaman mempunyai variasi harga yang berbeda-beda.Begitu pula halnya dengan sistem irigasi.Tanaman yang menggunakan sistem irigasi secara manual tidak dapat dikenai sejumlah pajak yang sama dengan tanaman yang menggunakan sistem irigasi alamiah.
         Disamping ketiga faktor tersebut,Al-Mawardi juga mengungkapkan faktor yang lain,yaitu jarak antara tanah yang menjadi objek kharaj dengan pasar.Faktor terakhir ini juga sangat relevan karena tinggi-rendahnya harga berbagai jenis barang tergantung pada jarak tanah dari pasar.Dengan demikian,dalam pandangan Al-Mawardi,keadilan baru akan terwujud terhadap para pembayar pajak jika para petugas pemungut pajak mempertimbangkan setidaknya empat faktor dalam melakukan penilaian suatau objek kharaj ,yaitu kesuburan tanah,jenis tanaman,sistem irigasi,dan jarak tanah ke pasar.
            Tentang metode penetapan kharaj,Al-Mawardi menyarankan untuk menggunakan salah satu dari tiga metode yang pernah diterapkan dalam sejarah islam,yaitu:
a.       Metode Misahah,yaitu metode penetapan kharaj berdasaran ukuran tanah.Metode ini merupakan fixed-tax,terlepas dari apakah tanah tersebut ditanami atau tidak,selama tanah tersebut memang bisa ditanami.
b.      Metode penetapan kharaj berdasarkan ukuran tanah yang ditanami saja.Dalam metode ini,tanah subur yang tidak dikelola tidak masuk dalam penilaian objek kharaj.
c.       Metode Musaqah,yaitu metode penetapan kharaj berdasarkan persentase dari hasil produksi (proportional tax).Dalam metode ini,pajak di pungut setelah tanaman mengalami masa panen.
            Secara kronologis,metode pertama yang digunakan umat Islam dalam penetapan kharaj adalah metode Misahah.Metode ini diterapkan pertama kali pada masa Khalifah Umar bin Khatab berdasarkan masukan dari para sahabat yang melakukan survey.Pada masa ini,pajak ditetapkan tahunan pada tingkat yang berbeda secara fixed atas setiap tanah yang berpotensi produktif dan memiliki akses ke air,sekalipun tidak ditanami,sehingga pendapatan yang diterima oleh negara dari jenis pajak ini pun bersifat fixet.Melalui penggunaan metode ini khalifah Umar ingin menjamin pendapatan negara pada setiap tahunnya demi kepentingan ekspansi,sekaligus memastikan para petani tidak mengelak membayar pajak dengan dalih hasil produksi rendah.
          Metode yang kedua juga pernah diterapkan pada masa Khalifah Umar.Pengenaan pajak dengan menggunakan metode ini dilakukan pada beberapa wilayah tertentu saja,Terutama di Syria.Metode yang terakhir,Musaqamah,pertama kali diterapkan pada masa Dinasti Abbasiyah,khususnya pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun ar-Rasyid.

Baitul Mal
            Seperti yang sudah dikemukakan,Al-Mawardi mmenyatakan bahwa untuk membiayai belanja negara dalam rangka memenuhi kebutuhan dasar setiap warganya,negara membutuhkan lembaga keuangan negara (Baitul Mal) yang didirikan secara permanen.Melalui lembaga ini,pendapatan negara dari berbagai sumber akan disimpan dalam pos yang terpisah dan dibelanjakan sesuai dengan alokasinya masing-masing.
            Berkaitan dengan pembelanjaan harta Baitul Mal,Al-Mawardi menegaskan bahwa jika dana pada pos tertentu tidak mencukupi untuk membiayai kebutuhan yang direncanakannya,Pemerintah dapat meminjam uang belanja tersebut dari pos yang lain.ia juga menyatakan bahwa pendapatan dari setiap Baitul Mal provinsi digunakan untuk memenuhi pembiayaan kebutuhan publiknya masing-masing.Jika terdapat surplus,gubernur mengirimkan sisa dana tersebut kepada pemerintah pusat.Sebaliknya,pemerintah pusat atau provinsi yang memperoleh pendapatan surplus harus mengalihkan sebagian harta Baitul Mal kepada daerah-daerah yang mengalami defisit.
Lebih jauh,Al-Mawardi menegaskan,adalah tanggung jawab Baitul Mal untuk memenuhi kebutuhan publik.Ia mengklasifikasikan berbagai tanggung jawab Baitul Mal kedalam dua Hal,yaitu:
a.       Tanggung jawab yang timbul dari berbagai harta bena yang disimpan di Baitul Mal sebagaiamanah untuk didistribusikan kepada mereka yang berhak,dan
b.      Tanggung jawab yang timbul seiring dengan adanya pendapatan yang menjadi aset kekayaan Baitul Mal itu sendiri.
          Berdasarkan kategori yang dibuat oleh Al-Mawardi tersebut,kategori pertama dari tanggung jawab Baitul Mal terkait dengan pendapatan negara berasal dari sedekah.Karena pendapatan sedekah yang diperuntukkan bagi kelompok masyarakat tertentu tersebut telah ditentukan dan tidak dapat digunakan untuk tujuan-tujuan umum,negara hanya diberi kewenangan untuk mengatur pendapatan itu sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh ajaran islam.Dengan demikian,kategori tanggung jawab Baitul Mal yang pertama ini merupakan pembelanjaan publik yang bersifat tetap dan minimum.
         Sementara itu,kategori kedua dari tanggung jawab Baitul Mal terkait dengan pendapatan negara yang berasal dari fai.Menurut Al-Mawardi,seluruh jenis kekayaan yang menjadi milik kaum muslimin secara umum dan bukan milik perorangan secara khusus merupakan bagian dari harta Baitul Mal.Oleh karena itu,pendapatan fai yang diperuntukkan bagi seluruh kaum muslimin tersebut merupakan bagian dari harta Baitul Mal.
            Lebih jauh,Al-Mawardi mengklasifikasikan ketegori tnggung jawab Baitul Mal yang kedua ini kedalam dua hal.
pertama,tanggung jawab yang timbul sebagai pengganti atas nilai yang diterima(badal),seperti untuk pembayaran gaji para tentara dan biaya pengadaan senjata.Karena tanggung jawab ini ada seiring dengan nilai yang diterima,negara harus menetapkan tuntutannya.Pelaksanaan tanggung jawab ini menghasilkan biaya-biaya yang harus dikeluarkan oleh pemerintah,berapapun besarannya.
  Kedua,tanggung jawab yang muncul melalui bantuan dan kepentingan umum.Al-Mawardi menyatakan bahwa pelaksanaan jenis tanggung jawab ini berkaitan dengan keberadaan dana Baitul Mal.Jika terdapat dana yang cukup di Baitul Mal,tanggung jawab negara atas kepentingan publik harus dipenuhi.Akan tetapi,dalam hal tidak ada dana yang cukup di Baitul Mal,maka pelaksanaan tanggung jawab tersebut menjadi tanggung jawab sosial(fardh kifayah) seluruh kaum muslimin.
           Disamping menetapkan tanggung jawab negara,uraian Al-Mawardi tersebut juga menunjukkan bahwa dasar pembelanjaan publik dalam negara Islam adalah mashlahah(kepentingan  umum).Hal ini berarti bahwa negara hanya mempunyai wewenang untuk membelanjakan harta Baitul Mal selama berorientasi pada pemeliharaan mashlahah dan kemajuannya.
          Dalam hal pendistribusian pendapatan zakat,Al-Mawardi menyatakan bahwa kewajiban negara untuk mendistribusikan harta zakat kepada orang-orang fakir dan miskin hanya pada taraf sekedar untuk membebaskan mereka dari kemiskinan.Tidak ada batasan jumlah tertentu untuk membantu mereka karena  pemenuhan kebutuhan merupakan istilah yang relatif.Untuk memenuhikebutuhan hidupnya sehingga terbebas dari kemiskinan,seseorang bisa jadi hanya cukup membutuhkan 1 dinar,sementara yang lain munkin membutuhkan 100 dinar.
            Disamping itu,Al-Mawardi berpendapat bahwa zakat harus didistribusikan diwilayah tempat zakat  itu diambil.Pengalihan zakat ke wilayah lain hanya diperbolehkan apabila seluruh golongan mustahik zakat diwilayah tersebut telah menerimanya secara memadai.Kalau terdapat surplus,maka wilayah yang paling berhak menerimanya adalah wilayah yang terdekat dengan wilayah tempat zakat itu diambil.
            Lebih jauh,Al-Mawardi menyatakan bahwa untuk menjamin pendistribusian harta Baitul Mal berjalan lancar dan tepat sasaran,negara harus memberdayakan Dewan Hisbah semaksimal mungkin.Dalam hal ini,salah satu fungsi Muhtasib adalah memperhatikan kebutuhan publik serta merekomendasikan pengadaan proyek kesejahteraan bagi masyarakat umum.Al-Mawardi menegaskan ‘’Jika mekanisme pengadaan air minum ke kota mengalami kerusakan,atau dinding sekitarnya bocor,atau kota tersebut banyak dilintasi oleh para musafir yang sangat membutuhkan air,maka muhtasib(petugas hisbah) harus memperbaiki sistem air minum,merekonstruksikan dinding dan memberikan bantuan keuangan kepada orang-orang miskin,karna hal ini adalah kewajiban Baitul Mal dan bukan kewajiban masyarakat’’
           Disamping menguraikan teori tentang Pembelanjaan Publik,Mawardi ternyata juga memahami dampak ekonomi pengalihan pendapatan melalui kebijakan publik.Ia menyatakan, ‘’Setiap penurunan dalam kekayaan publik adalah peningkatan kekayaan negara dan setiap penurunan dalam kekayaan negara adalah peningkatan dalam kekayaan publik.’’

     Dengan demikian,manurut Al-Mawardi pembelanjaan publik,seperi halnya perpajakan merupakan alat yang efektif untuk mengalihkan sumber-sumber ekonomi.Pernyataan Al-Mawardi tersebut juga mengisyaratkan bahwa pembelanjaan publikakan meningkatkan pendapatan masyarakat sacara keseluruhan.

Comments

Popular posts from this blog

kaidah Qawaid Fiqhiyyah : "Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya"

  Kaidah Fiqh اَلْعِبْرَةُبِالْمَقَاصِدِوَالْمُسَمِّيَاتِ لاَبِالْأَلْفَاظِ وَالتَسْمِيَاتِ “Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya.” Kaidah ini memberi pengertian bahwa yang jadi patokan adalah maksud hakiki dari kata-kata yang diucapkan atau perbuatan yang dilakukan bukan redaksi ataupun penamaan yang digunakan. Dan dari kaidah ini,bercabanglah satu kaidah lain yang melengkapinya, yang disebutkan dalam Jurnal Al-Ahkam Al-Adliyyah, yakni kaidah: اَلْعِبْرَةُ فىِ اْلعُقُوْدِ بِالْمَقَاصِدِ وَالْمَعَانِي لَا بِالْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي “Yang dijadikan pegangan dalam transaksi (akad) adalah maksud dan pengertian bukan redaksi ataupun premis.” Makna Kaidah Dari kaidah ini dipahami bahwa saat transaksi dilangsungkan, yang menjadi patokan bukanlah redaksi yang digunakan kedua pihak yang melangsungkan transaksi, melainkan maksud hakiki mereka dari kata-kata yang diucapkan dalam transaksi tersebut. Sebab, maksud hakikinya adalah penge

Departementalisasi Organsasi

Pengertian Departementalisasi Organsasi Departementalisasi adalah proses penentuan cara bagaimana kegiatan yang dikelompokkan. Beberapa bentuk departementalisasi sebagai berikut : •           Fungsi •           Produk atau jasa •           Wilayah •           Langganan •           Proses atau peralatan •           Waktu •           Pelayanan •           Alpa – numeral •           Proyek atau matriks 1.       Departementalisasi Fungsional               Departentalisasi fungsional mengelompokkan fungsi – fungsi yang sama atau kegiatan – kegiatan sejenis untuk membentuk suatu satuan organisasi. Organisasi fungsional ini barangkali merupakan bentuk yang paling umum dan bentuk dasar departementalisasi. kebaikan utama pendekatan fungsional adalah bahwa pendekatan ini menjaga kekuasaan dan kedudukan fungsi- funsi utama, menciptakan efisiensi melalui spesialisasi, memusatkan keahlian organisasi dan memungkinkan pegawai manajemen kepuncak lebih ketat terhadap fungs

kaidah qawaid fiqhiyyah :"Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang"

لاَ يَتِمُّ التَّبَرُّعُ إِلاَّ بِالقَبْضِ   “ Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”  berbicara tentang kaidah ini maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu, yaitu : Pengertian Akad Akad adalah salah satu sebab dari yang ditetapkan syara’ yang karenanya timbullah beberapa hukum. Dengan memperhatikan takrit akad, dapatlah dikatakan bahwa akad itu adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan persetujuan masing-masing. [1] Akad termasuk salah satu perbuatan hukum (tasharruf) dalam hukum Islam. Dalam terminology fiqih akad diartikan sebagai pertalian antara ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh terhadap objek perikatan. Sesuai kehendak syariat maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sesuai dengan kehendak  syariat. [2] Rukun merupakan hal yang harus dipenuhi agar suatu per