Skip to main content

kaidah Qawaid Fiqhiyyah : "Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya"

 Kaidah Fiqh
اَلْعِبْرَةُبِالْمَقَاصِدِوَالْمُسَمِّيَاتِ لاَبِالْأَلْفَاظِ وَالتَسْمِيَاتِ
“Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya.”
Kaidah ini memberi pengertian bahwa yang jadi patokan adalah maksud hakiki dari kata-kata yang diucapkan atau perbuatan yang dilakukan bukan redaksi ataupun penamaan yang digunakan. Dan dari kaidah ini,bercabanglah satu kaidah lain yang melengkapinya, yang disebutkan dalam Jurnal Al-Ahkam Al-Adliyyah, yakni kaidah:
اَلْعِبْرَةُ فىِ اْلعُقُوْدِ بِالْمَقَاصِدِ وَالْمَعَانِي لَا بِالْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي
“Yang dijadikan pegangan dalam transaksi (akad) adalah maksud dan pengertian bukan redaksi ataupun premis.”
Makna Kaidah
Dari kaidah ini dipahami bahwa saat transaksi dilangsungkan, yang menjadi patokan bukanlah redaksi yang digunakan kedua pihak yang melangsungkan transaksi, melainkan maksud hakiki mereka dari kata-kata yang diucapkan dalam transaksi tersebut. Sebab, maksud hakikinya adalah pengertian, bukan redaksi yang digunakan. Lagipula, redaksi hanyalah balok-balok yang menyusun pengertian. Kendati demikian, selama penyatuan antara redaksi dan pengertian yang dimaksud tidak mustahil, redaksinya tidak boleh dihapuskan.[1]
Selain itu menurut Hanafiyah dan Malikiyah, bahwa untuk menghasilkan suatu transaksi tidak harus melihat pada kata-kata yang terucap pada waktu transaksi, melainkan cukup melihat inti makna atau tujuan dari kata-kata yang diucapkan. Karena secara substansial, yang menjadi tujuan adalah makna atau maksud, bukan kata-kata dan bentuknya. Kata-kata hanyalah sarana untuk menunjukkan makna. Di kalangan kedua mazhab ini hanya ada satu pendapat, yaitu memenangkan sisi tujuan atau substansi, terkecuali apabila terjadi kesulitan untuk mempertemukan antara kata-kata dan tujuannya.[2]
Sebagai contoh apabila seseorang berkata kepada orang lain, “Kendaraan ini kupinjamkan kepadamu untuk kau kendarai sampai kota A dengan ganti lima puluh Qirsy”. Maka itu adalah transaksi sewa menyewa,bukan transaksi pinjam meminjam,kendati kata-kata yang dipakai dalam transaksi adalah redaksi pinjam meminjam,karena pinjam meminjam adalah pengalihan manfaat tanpa kompensasi(ganti),sedangkan disini ada kompensasi.
Contoh lainnya bisa kita lihat padasaat transaksi jual beli al wafa’ dilangsungkan,penggunaan redaksi jual beli yang mengandung konsekuensi pengalihan kepemilikan barang kepada pembeli-justru tidak menimbulkan konsekuensi tersebut. Sebab, pengalihan kepemilikan bukanlah maksud dari kedua belah pihak yang melangsungkan transaksi jual beli al-wafa'. Maksud mereka tidak lain adalah menjadikan barang yang diperjual belikan sebagai jaminanutang si penjual kepada si pembeli, dan menjadikan barang yang diperjual belikan tetap berada ditangan si pembeli selama utang belum dilunasi. Karena itulah transaksi ini tidak keluar dari wujud transaksi gadai, sehingga yang berlaku atasnya adalah hukum gadai, bukan hukum jual beli.[3]
Berdasarkan hal itu, si penjual dalam jual beli al-wafa’ berhak meminta kembali barang yang dijualnya setelah ia mengembalikan pembayaran harga barang tersebut. Sementara si pembeli berhak memita kembali pembayaran harga barang yang dibelinya setelah ia mengembalikan barang tersebut. Seandainya transaksi ini merupakan jual beli yang hakiki, tentulah barang yang diperjual belikan tidak boleh dikembalikan, dan pembayaran harga barang tersebut pun tidak boleh diminta kembali, kecuali jika kedua belah pihak bersepakat untuk membatalkan jual beli dan menawarkan kesepakatan baru.[4]
 Dalil Syar’i bagi Kaidah Ini
Dalil kaidah ini adalah hadis shahih lagi masyhur yang diriwayatkan Umar Bin Al-Khathab dari Nabi SAW. Nabi bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِيءٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya segala amal perbuatan tergantung dari niat, dan setiap orang memperoleh apa yang ia niatkan.’’(H.R.Muslim dan lainnya).[5]
 Ba’i Al-Wafa’
  Pengertian Ba’i Al-Wafa’
Secara etimologis, al-ba’i berarti jual beli, dan al-wafa’ berarti pelunasan/penutupan utang. Ba’i al-wafa’ adalah salah satu bentuk akad (transaksi) yang muncul di Asia Tenggara (Bukhara dan Balkh) pada pertengahan abad ke-5 Hijriah dan merambat ke timur tengah.[6]
Secara terminologis Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, Ba’i al-wafa’ /jual beli dengan hak membeli kembali adalah jual beli yang dilangsungkan dengan syarat bahwa barang dijual tersebut dapat dibeli kembali oleh penjual apabila tenggang waktu yang disepakati telah tiba. Menurut Dr. Nasrun Haroen, ba’ial-wafa’ adalah jual beli yang dilangsungkan dua pihak yang dibarengi dengan syarat bahwa yang dijual itu dapat dibeli kembali oleh penjual, apabila tenggang waktu yang telah ditentukan telah tiba.[7]
Artinya, jual beli ini mempunyai tenggang waktu yang terbatas, misalnya satu tahun, sehingga apabila waktu satu tahun telah habis, maka penjual membeli barang itu kembali dari pembelinya.[8] Misalnya, Ruslan sangat memerlukan uang saat ini, lalu ia menjual sawahnya seluas dua hektar kepada Riadi seharga Rp10.000selama dua tahun. Mereka sepakat menyatakan bahwa apabila tenggang waktu dua tahun itu telah habis, maka Ruslan akan membeli sawah itu kembali seharga penjualan semula, yaitu Rp 10.000 kepada Riadi. Disebabkan akad yang digunakan adalah akad jual beli, maka tanah sawah boleh dieksploitasi Riadi selama dua tahun itu dan dapat ia manfaatkan sesuai dengan kehendaknya, sehingga tanah sawah itu menghasilkan keuntungan baginya. Akan tetapi, tanah sawah itu tidak boleh dijual kepada orang lain. Musthafa Ahmad al-Zarqa mengatakan, bahwa barang yang diperjual belikan dalam ba’i al-wafa’ adalah barang tidak bergerak, seperti tanah perkebunan rumah, tanah, perumahan dan sawah.[9]
Jual beli ini muncul dalam rangka menghindari terjadinya riba dalam pinjam-meminjam. Banyak di antara orang kaya ketika itu tidak mau meminjamkan uangnya tanpa ada imbalan yang mereka terima. Sementara, banyak pula peminjam uang yang tidak mampu melunasi utangnya akibat imbalan yang harus mereka bayarkan bersamaan dengan sejumlah uang yang mereka pinjam. Di sisi lain imbalan yang diberikan atas dasar pinjam-meminjam uang ini, menurut ulama termasuk riba. Dalam menghindarkan diri dari riba, masyarakat Bukhara dan Balkh ketika itu merekayasa sebuah bentuk jual beli yang dikenal kemudian dengan ba’i al-wafa’.[10]

 Hukum Ba’i Al-Wafa’
Menurut Musthafa Ahmad az-Zarqa, dan Abdurrahman Ashabu-ni, dalam sejarahnya, ba’i al-wafa’ baru mendapat justifikasi para ulama fiqh setelah berjalan beberapa lama. Maksudnya, bentuk jual beli ini telah berlangsung beberapa lama dan ba’i al-wafa’ telah menjadi urf (adat kebiasaan) masyarakat Bukhara dan Balkh, baru kemudian para ulama fiqh, dalam hal ini ulama Hanafi, melegalisasi jual beli ini. Imam Najmuddin an-Nasali (461-573 H) seorang ulama terkemuka mazhab Hanafi di Bukhara mengatakan: “para syekh kami (Hanafi) membolehkan ba’i al wafa’ sebagai jalan keluar dari riba.[11]
Menurut Abu Zahrah, tokoh fiqih dari Mesir, mengatakan bahwa dilihat dari segi sosio-historis, kemunculan ba’i al-wafa’ di tengah-tengah masyarakat Bukhara dan Balkh pada pertengahan abad ke-5 H adalah disebabkan oleh para pemilik modal tidak mau lagi memberi utang kepada orang-orang yang memerlukan uang, jika mereka tidak mendapat imbalan apa pun. Hal ini membuat kesulitan bagi masyarakat yang memerlukan. Keadaan ini membawa mereka untuk membuat akad tersendiri sehingga keperluan masyarakat terpenuhi dan keinginan orang-orang kaya pun terayomi.
Jalan pikiran ulama Hanafiyah dalam memberikan justifikasi terhadap ba’i al-wafa’ adalah didasarkan pada istihsan urfi. Akan tetapi para ulama fiqh lainnya tidak boleh melegalisasi bentuk jual beli ini.[12]
Alasan mereka adalah:
1.      Dalam suatu akad jual beli tidak dibenarkan adanya tenggang waktu, karena jual beli adalah akad yang mengakibatkan perpindahan hak milik secara sempurna dari penjual kepada pembeli.
2.      Dalamjual beli tidak boleh ada syarat bahwa-barang yang dijual itu harus dikembalikan oleh pembeli kepada penjual semula, apabila ia telah siap mengembalikan uang seharga jual semula.
3.      Bentuk jual beli ini tidak pernah ada di zaman Rasulullah SAW maupun di zaman sahabat.
4.      Jual beli ini merupakan hillah yang tidak sejalan dengan maksud syara’ pensyariatan jual beli.[13]

  Rukun Ba’i Al-Wafa’
Ulama Hanafiah mengemukakan bahwayang menjadi rukun dalam ba’i al-wafa’ sama dengan rukun jual beli pada umumnya, yaitu ijab (pernyataan menjual) dan kabul (pernyataan membeli). Dalam jual beli, mereka hanya ijab kabul yang menjadi rukun akad, sedangkan pihak yang berakad (penjual dan pembeli), barang yang dibeli, dan harga barang, tidak termasuk rukun, termasuk syarat-syarat jual beli.
Demikian juga syarat-syarat ba’i aI-wafa’, menurut mereka, sama dengan syarat jual beli pada umumnya. Penambahan syarat untuk ba’i al-wafa’ hanyalah dari segi penegasan bahwa barang yang telah di jual itu harus dibeli kembali oleh penjual dan tenggang waktu yang berlakunya jual beli itu harus tegas, misalnya satu tahun, dua tahun, atau lebih.[14]

 Kaitan dengan Kaidah Asasi
Kaidah “Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya”  bisa dikatakan bahwa berkaitan dengan kaidah asasi yang pertama, yaitu:
اَلْاُمُوْرُبِمَقَاصِدِهَا
“Setiap perkara itu tergantung pada maksudnya.”[15]
            Kedua kaidah ini juga berlandaskan langsung kepada sebuah hadits yang telah disebutkan diatas bahwa segala perbuatan tergantung pada niatnya.
Pada pengertian kaidah asasi yang pertama sendiri dapat dipahami bahwa hukum yang ditetapkan terhadap suatu perkara yang timbul dari perkataan atau perbuatan subjek hukum (mukallaf) tergantung pada maksud dan tujuan dari perkara tersebut. Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kedua kaidah tersebut memiliki keterkaitan antara satu sama lain, dimana kedua kaidah ini sama-sama bertumpu terhadap maksud dan tujuan suatu perkataan atau perbuatan dari sebuah perkara yang dilakukan oleh subjek hukum (mukallaf).[16]
Sebagai contoh pada kaidah asasi yang pertama adalah jika seseorang menemukan barang temuan (luqathah) kemudian memungutnya. Jikalau ia mengambilnya dengan niat memilikinya, maka ia dianggap sebagai peng-ghashab (perampas), dan seandainya barang tersebut rusak sewaktu di tangannya, maka ia berkewajiban unmk menggantinya. Dan jika ia mengambilnya dengan niatan akanmenyerahkannya kepada pemilik barang atau kepada petugas keamanan agar dapat diserahkan kepada pemiliknya, maka hal itu merupakan sebuah tindakan terpuji dan seandainya barang tersebut rusak ketika berada di tangannya sebelum sempat diserahkan tanpa unsur kesengajaan dan kelalaian maka ia tidak dikenai kewajiban mengganti. Penjelasannya atas maksud dan tujuannya dalam hal tersebut dapat diterima dengan disertai bukti-bukti pendukung (qarinah) yang menguatkan pernyataan dan penjelasannya. [17]
Sedangkan untuk contoh kaidah yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya bisa kita lihat ketika apabila seseorang berkata kepada orang lain, “Kendaraan/rumah ini kuhibahkan kepadamu dengan ganti seratus juta rupiah”,maka ini adalah transaksi jual beli, bukan transaksi hibah.Sebab, penyebutan “seratus juta rupiah” bersama redaksi hibah menunjukkan bahwa maksudnya adalah jual beli,bukan hibah.[18]
 Kaidah ini Membatalkan Segala Siasat Fiqih
Kaidah ini membatalkan siasat-siasat fikih yang terkenal ditentang para ahli fikih namun justru difatwakan sebagian ahli fikih lainnya dalam rangka menggugurkan kewajiban atau memperbolehkan hal-hal yang diharamkan. Ini mirip perbuatan kaum Yahudi ihwal hari Sabtu. Ketika Allah mengharamkan penangkapan ikan pada hari itu, mereka pun memasang jarring pada hari Jumat agar ikan-ikan memasukinya pada hari Sabtu, lantas mereka panen pada hari Ahad.[19] Al-Qur’an mengisahkan cerita tentang mereka yang berujung pada kutukan Allah terhadap mereka, sehingga mereka diubah menjadi kera. Allah SWT berfirman:
وَسۡ‍َٔلۡهُمۡ عَنِ ٱلۡقَرۡيَةِٱلَّتِي كَانَتۡ حَاضِرَةَ ٱلۡبَحۡرِ إِذۡ يَعۡدُونَ فِي ٱلسَّبۡتِ إِذۡ تَأۡتِيهِمۡ حِيتَانُهُمۡ يَوۡمَ سَبۡتِهِمۡ شُرَّعٗا وَيَوۡمَ لَا يَسۡبِتُونَ لَا تَأۡتِيهِمۡۚ كَذَٰلِكَ نَبۡلُوهُم بِمَا كَانُواْ يَفۡسُقُونَ ١٦٣
“Dan tanyakanlah kepada Bani Israil tentang negeri yang terletak di dekat laut ketika mereka melanggar aturan pada hari Sabtu, di waktu datang kepada mereka ikan-ikan (yang berada di sekitar) mereka terapung-apung di permukaan air, dan di hari-hari yang bukan Sabtu, ikan-ikan itu tidak datang kepada mereka. Demikianlah Kami mencoba mereka disebabkan mereka berlaku fasik.”(Al-A’raf: 163).
Imam Al-Bukhari r.a menyebutkan bahwa siasat fikih adalah bentuk yang lahirnya dapat diterima secara fikih tetapi batinnya palsu. Berdasarkan kebijakan dan maksud-maksud syariat, siasat tersebut tidak sah. Pasalnya, syariat bermaksud melarang tetapi siasat fikih malah memperbolehkan,syariat bermaksud mewajibkan tetapi siasat fikih malah menggugurkan.[20]
Sebagai contoh siasat fikih yaitu mengenaipenghalalan nikahnya perempuan dengan mantan suaminya yang telah menalaknya dengan talak tiga dan talak bain kubra,padahal si perempuan tidak halal dinikahi kembali oleh simantan suami sebelum menikah dengan suami baru. Maka hadirlah sesosok lelaki yang menikahinya(Al-Muhallil) bukan agar merasa tenteram kepadanya, bukan agar terwujud cinta dan kasih sayang antara mereka berdua, bukan agar memperoleh keturunan darinya,bukan pula untuk mencapai salah satu maksud pernikahan yang disyariatkan, melainkan hanyalah“lelaki sewaan”,sebagaimana disebut demikian dalam hadis,untuk satu malam atau satu jam saja,untuk kemudian menceraikannya.
Adapun contoh siasat fikih dalam muamalah adalah penghalalan riba atas nama jual beli.[21] Hal ini dapat kita lihat dalam praktik jual beli al-‘inah. Praktik jual beli a-‘inah adalah sebuah praktik jual beli dimana seorang penjual menjual barang dagangannya dengan suatu harga yang dibayar belakangan dengan tempo tertentu, kemudian penjual itu membeli lagi barang dagangan itu dari pembeli (sebelum pembeli membayar harganya) dengan harga yang lebih murah, dan saat jatuh tempo pembeli membayar harga yang dibelinya dengan harga awal.[22]
Menurut Ibnul Qayyim, bahwa riba tidak diharamkan hanya lantaran bentuk dan redaksinya saja, melainkan diharamkan lantaran hakikat dan pengertiannya. Juga, maksudnya yang melandasi siasat ribawi sama saja seperti melakukan riba yang tegas. Kedua pihak yang bertransaksi mengetahui itu dalam hati, begitu juga setiap orang yang menyaksikan kondisi mereka. Allah pun Maha Tahu bahwa maksud mereka adalah riba itu sendiri. Mereka hanya menjadikan suatu transaksi sebagai sarana, padahal tidak mereka maksudkan, lantas mereka menamakannya dengan nama pinjaman yang bukan nama sebenarnya. Dapat diketahui bahwa tindakanitu tidak menangkal pengharaman dan tidak melenyapkan kerusakan yang menjadi alasan diharamkannya riba, bahkan malah memperkuat dan mempertegas pengharaman itu dari banyak aspek. Demikianlah uraian Ibnul Qayyim.[23]


baca juga kaidah lainnya : "apa yang boleh dijual boleh juaga digadaikan" dan "tidak sempurna akad tabaru' kecuali dengan penyerahan barang"


[1] Yusuf Al-Qaradhawi, 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat,  (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2014), hlm. 39
[2]Ahmad Sudirman Abbas, Qawa’id Fiqhiyyah Dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya dan Anglo Media, 2004), hlm. 33
[3]Yusuf Al-Qaradhawi, 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat,  (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2014), hlm. 39
[4]Ibid., hlm. 40
[5]Yusuf Al-Qaradhawi, 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat,  (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2014), hlm. 43
[6]A. Bakir Ihsan, Ensiklopedi Islam, (Jakarta :PT. Intermasa, 2005), hlm. 278
[7]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,  (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2007, hlm. 150
[8]Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, Cetakan ke-2, 2013), hlm. 178
[9]Ibid., hlm. 179
[10]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,  (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2007, hm. 153
[11]Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, Cetakan ke-2, 2013), hlm. 180
[12]Menurut Hadis Riwayat Muslim, an-Nasa’i Abu Daud, at-Tirmidzi, dan Ibnu Majah: “Rasulullah SAW melarang jual beli dengan syarat.
[13]Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah,  (Jakarta: Gaya Media Pratama), 2007, hlm. 156
[14]Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, Cetakan ke-2, 2013), hlm. 182
[15]H.A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih: Kaidah-Kaidah Hukum Islam dalam Menyelesaikan Masalah-Masalah yang Praktis,Jakarta: Kencana, 2006, hlm. 117
[16]Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009) , hlm. 6
[17]Nashr Farid Muhammad Washil dan Abdul Aziz Muhammad Azzam, Qawa’id Fiqhiyyah, (Jakarta: Amzah, 2009) , hlm. 11
[18]Yusuf Al-Qaradhawi, 7 Kaidah Utama Fikih Muamalat,  (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2014), hlm. 40
[19]Ibid., hlm. 48
[20]Ibid., hlm. 49
[21]Ibid.
[22]Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah: Fiqh Muamalah, (Jakarta: Kencana, Cetakan ke-2, 2013), hlm. 185
[23]Ibid., hlm. 59

Comments

Popular posts from this blog

Departementalisasi Organsasi

Pengertian Departementalisasi Organsasi Departementalisasi adalah proses penentuan cara bagaimana kegiatan yang dikelompokkan. Beberapa bentuk departementalisasi sebagai berikut : •           Fungsi •           Produk atau jasa •           Wilayah •           Langganan •           Proses atau peralatan •           Waktu •           Pelayanan •           Alpa – numeral •           Proyek atau matriks 1.       Departementalisasi Fungsional               Departentalisasi fungsional mengelompokkan fungsi – fungsi yang sama atau kegiatan – kegiatan sejenis untuk membentuk suatu satuan organisasi. Organisasi fungsional ini barangkali merupakan bentuk yang paling umum dan bentuk dasar departementalisasi. kebaikan utama pendekatan fungsional adalah bahwa pendekatan ini menjaga kekuasaan dan kedudukan fungsi- funsi utama, menciptakan efisiensi melalui spesialisasi, memusatkan keahlian organisasi dan memungkinkan pegawai manajemen kepuncak lebih ketat terhadap fungs

kaidah qawaid fiqhiyyah :"Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang"

لاَ يَتِمُّ التَّبَرُّعُ إِلاَّ بِالقَبْضِ   “ Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”  berbicara tentang kaidah ini maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu, yaitu : Pengertian Akad Akad adalah salah satu sebab dari yang ditetapkan syara’ yang karenanya timbullah beberapa hukum. Dengan memperhatikan takrit akad, dapatlah dikatakan bahwa akad itu adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan persetujuan masing-masing. [1] Akad termasuk salah satu perbuatan hukum (tasharruf) dalam hukum Islam. Dalam terminology fiqih akad diartikan sebagai pertalian antara ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh terhadap objek perikatan. Sesuai kehendak syariat maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sesuai dengan kehendak  syariat. [2] Rukun merupakan hal yang harus dipenuhi agar suatu per