Skip to main content

kaidah qawaid fiqhiyyah :"Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang"

لاَ يَتِمُّ التَّبَرُّعُ إِلاَّ بِالقَبْضِ 
“ Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
 berbicara tentang kaidah ini maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu, yaitu :
Pengertian Akad
Akad adalah salah satu sebab dari yang ditetapkan syara’ yang karenanya timbullah beberapa hukum. Dengan memperhatikan takrit akad, dapatlah dikatakan bahwa akad itu adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan persetujuan masing-masing.[1] Akad termasuk salah satu perbuatan hukum (tasharruf) dalam hukum Islam. Dalam terminology fiqih akad diartikan sebagai pertalian antara ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh terhadap objek perikatan. Sesuai kehendak syariat maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sesuai dengan kehendak  syariat.[2]
Rukun merupakan hal yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan sah secara hukum Islam. Rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu perbuatan atau lembaga, yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut dan ada atau tidaknya sesuatu itu.[3] perbedaan  ulama  fiqih dalam menentukan rukun akad, salah satu pendapat ulama fiqih  menyatakan  rukun akad terdiri atas:[4]
1.      Pernyataan untuk mengikatkan diri (sighat al-aqad)
2.      Pihak-pihak yang ber-akad (al-muta’aqidain)
3.      Objek akad (al-ma’qudalaihi)
Secara umum, para ulama fiqih menetapkan syarat-syarat  dalam pembuatan akad selain dari syarat-syarat khusus yang tergantung pada jenis dan kegiatan yang diperjanjikan dalam akad. Syarat umum suatu akad adalah:[5]
1.      Para pihak yang melakukan akad telah cakap menurut hukum   (mukallaf).
Mukallaf berarti telah dapat dibebani hukum, yang berarti segala perbuatannnya dapat dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Cakap artinya telah dewasa dan tidak hilang akal, maka dari itu akad yang dilakukan orang gila dan anak-anak dianggap tidak sah. Tetapi jika akad tersebut dilakukan oleh orang tua mereka, atau walinya dan sifat akad  yang dilakukan tersebut memiliki manfaat bagi orang yang diwakilkan, maka akad tersebut hukumnya sah.
2.      Memenuhi syarat-syarat objek akad, yaitu:[6]
a.       Objek akad telah ada ketika akad dilangsungkan
b.      Objek akad sesuai syariat
c.       Objek akad harus jelas dan dikenali
d.      Objek akad dapat diserahterimakan.
3.      Akad tidak dilarang oleh nash Al-Qur’an dan hadis
4.      Akad yang dilakukan memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad itu. Artinya selain harus memenuhi akad-akad umum seperti yang diuraikan ini, juga harus memenuhi syarat-syarat yang dikhususkan untuk jenis akad tertentu.
5.      Akad harus bermanfaat, oleh sebab itu ika sesorang melakukan suatu akad dan imbalan yang diambil salah seorang yang berakad adalah kewajiban baginya, maka akad tersebut batal.
6.      Pernyataan  ijab  harus  tetap  utuh  dan  sahih  sampai  terjadinya    qabul. Apabila ijab tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul diucapkan maka akad tidak sah. Hal ini banyak terjadi dalam akad yang dilangsungkan melaui tulisan. Misalnya, dua orang yang pedagang dari daerah yang berbeda melakukan transaksi dagang melalui surat untuk membuat akad. Sebelum surat yang berisi ijan dari pihak pertama sampai kepada pihak kedua, pihak pertama telah meninggal dunia maka ketika surat sampai ke pihak kedua dan dia mengucapkan qabul-nya maka akad tersebut dinyatakan tidak sah.
7.      Ijab dan qabul dinyatakan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan suatu proses transaksi. Menurut Mustafa Ahmad Az- Zarqa’ majelis yang dimaksud bisa merupakan tempat dilangsungkannya akad atau bisa juga sebagai keadaan selama proses berlangsungnya akad, sekalipun tidak pada satu tempat.
8.      Tujuan akad harus jelas, dan diakui syara’. Tujuan akad berkaitan erat dengan berbagai bentuk akad yang dilakukannya. Misalnya akad jual beli bertujuan untuk memindahkan hak milik penjual kepada pembeli dengan imbalan sejumlah harga kepada penjual oleh pembeli.

 Pengertian Akad Tabarru
Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut   transaksi   yang   tidak   mengejar   keuntungan   (non  profit transaction). Akad tabarru’ dilakukan dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan, sehingga pihak yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah, bukan dari manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta kepada rekan transaksi-nya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya untuk dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru’ tersebut. Contoh dari akad tabarru’ adalah qard, wadi’ah, wakalah, rahn, hibah, dan sebagainya.[7]
Adi Karim menjelaskan bahwa pada dasarnya, akad tabarru’ ini adalah memberikan sesuatu (giving something) atau meminjamkan sesuatu (lending something). Bila akadnya adalah meminjamkan sesuatu, maka objek pinjamannya dapat berupa uang (lending) selain meminjamkan uang dapat pula meminjamkan jasa (lending yourself).
Ketika bentuk umum dari akad tabarru’ yang akan dijelaskan sebagai berikut:[8]
1.      Meminjamkan uang (lending $)
Akad meminjamkan uang ini ada beberapa macam lagi jenisnya, setidaknya ada  3 jenis yakni sebagai berikut :
a.       Bila pinjaman ini diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain mengembalikan pinjaman tersebut setelah jangka waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang seperti ini disebut dengan qardh.
b.      Selanjutnya, jika meminjamkan uang ini, si pemberi pinjaman mensyaratkan suatu jaminan dalam bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini disebut dengan rahn.
c.       Ada lagi suatu bentuk pemberian pinjaman uang dimana tujuannya adalah untuk mengambil alih piutang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman uang dengan maksud seperti ini adalah hiwalah.
2.      Meminjamkan jasa kita (lending yourself)
Seperti akad meminjamkan uang, akad meminjamkan jasa juga terbagi menjadi 3 jenis yakni sebagai berikut
a.       Bila kita meminjamkan “diri kita sendiri” (yakni jasa keahlian/ keterampilan, dan sebagainya) saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama oerang lain, maka hal ini disebut wakalah. Karena kita melakukan sesuatu atas nama orang yang kita bantu tersebut, sebenarnya  kita menjadi wakil atas orang itu. Itu sebabnya akad ini diberi nama wakalah
b.      Selanjutnya bila akad wakalah ini kita rinci tugasnya, yakni bila kita menawarkan jasa kita untuk menjadi wakil seseorang, dengan tugas menyediakan jasa custody (penitipan, pemeliharaan), bentuk peminjaman ini disebut akad wadi’ah
c.       Ada variasi lain dari akad wakalah yakni contigent wakalah (wakalah bersyarat). Dalam hal ini, kita bersedia memberikan jasa kita untuk melakukan sesuatu atas nama orang lain, jika terpuenuhi kondisinya atau jika sesuatu terjadi. Misalkan seorang dosen menyatakan kepada asistennya. “Tugas anda adalah menggantikan saya mengajar bila saya berhalangan”. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah wakalah bersyarat. Asisten hanya bertugas mengajar (yakni melakukan sesuatu atas nama dosen), bila dosen yang berhalangan (yakni bila terpenuhi kondisinya, jika sesuatu terjadi). Jadi asisten ini tidak otomatis menjadi wakil dosen. Wakalah bersyarat dalam terminologi fiqh disebut sebagai akad kafalah.
3.      Memberikan sesuatu (giving something)
Yang termasuk dalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut : hibah, waqaf, shadaqah, hadiah, dan lain-lain. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku memberikan sesuatu kepada orang lain. Bila penggunaannya untuk kepentingan umum dan agama maka akadnya dinamakan waqaf. Objek waqaf tidak boleh diperjualbelikan begitu dinyatakan sebagai aset waqaf. Sedangkan hibah dan hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.

 Makna Kaidah
Akad tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.[9] Tabarru’ sendiri adalah memberikan harta tanpa meminta balasan. Tabarru’ mencakup hadiah, hibah, dan sedekah. Disyaratkan penerimaan dari pihak yang diberi dikarenakan jika Tabarru’ tanpa ada penerimaan, maka hal ini akan merombak kaedah yang telah mapan dalam fikih, yaitu seseorang tidak boleh memasukkan sesuatu dalam milik orang lain tanpa keridhaannya. Maksudnya seseorang tidak boleh memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa kerelaannya. Atau dengan kata lain, sesuatu tidak masuk dalam milik seseorang secara paksa kepadanya kecuali warisan.Di samping itu, jika tabarru’ tidak disertai penerimaan, maka bagi Mutabarra’ Lah (orang yang menerima tabarru’) berhak menuntut mutabarri’ (pemberi  tabarru’) untuk menyerahkan barang tabarru’. Sehingga tabarru’ menjadi akad tanggungan (dhaman) dan ini tidak boleh terjadi. Atas dasar ini, apabila belum terjadi penerimaan sedangkan Mutabarri’ atau Mutabarra’ Lah meninggal dunia, maka tabarru’ menjadi batal.

Dalil dan Asas Kaedah
Kaedah ini mempunyai dalil atau landasan dari segi syarat penerimaan demi kesempurnaan tabarru’. Yaitu:
 apa yang diriwayatkan oleh Imam Maliki dalam Al-Muwaththa’ dengan sanad shahih dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa Abu Bakar berkata kepadanya dalam keadaan sakit yang menyebabkan meninggal dunia, “aku manghadiahimu pohon kurma, jika kamu memetik buahnya, maka itu adalah milikmu, akan tetapi sekarang milik ahli waris.”
1.                  Syarat-syarat Sah Penerimaan[10]
Sahnya penerimaan oleh Mutabarra’lah disyaratkan dengan izin Mutabarri’ secara jelas, seperti perkataannya, “terimalah” atau “aku telah mengizinkanmu untuk menerima”. Terkadang izin dilakukan dengan tersirat, seperti Mutabarra’ Lah menerima barang di majelis akad dan dia tidak dilarang oleh mutabarri’. Disyaratkan juga barang yang diserahkan tidak disibukkan dengan yang lain saat penyerahan. Jika seseorang menghibahkan binatang yang di atasnya ada barang bawaan, atau rumah yang di dalamnya terdapat barang-barang milik pemberi hibah, lalu menyerahkannya beserta dengan perkara yang menyibukkan tersebut (barang yang tidak masuk dalam hibah), maka penerimaan tidak sah.
Syaratnya yang lain adalah barang yang diserahkan merupakan sesuatu yang menjadi obyek penerimaan. Jika seseorang menghibahkan sesuatu yang berada dalam perut kambing miliknya, maka penerimaan tidak sah walaupun anaknya bisa diterima setelah lahir.
Syarat yang lain, barang yang diserahkan tidak berhubungan dengan barang lainnya. Karena hal itu masuk dalam mkana milik umum. Jika seseorang menghibahkan tanaman tanpa tanah  atau tanah tanpa tanaman, ataupun buah tanpa pohon atau pohon tanpa buah, lalu menyerahkan semuanya, maka penerimaannya tidak sah.
Terakhir, penerimaan harus orang yang ahli untuk menerima. Maka tidak boleh penerimaan yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz. Namun, penerimaan boleh dilakukan dengan cara kewilayahan yang memperbolehkan menerima seperti ini. Maka penerimaan seseorang boleh diwakili wali atau penanggungnya.
2.                  Penerimaan yang Telah Dahulu Mengganti yang Belakang
Penerimaan yang dahulu dalam masalah tabarru’ mengganti penerimaan yang belakang apabila yang dahulu seperti yang belakang atau lebih kuat darinya. Adapun jika berada di bawahnya, maka tidak dapat menggantinya. Penerimaan amanat seperti penitipan dan pinjam meminjam dapat mengganti penerimaan tabarru’, karena serupa dengannya. Begitu juga penerimaan tabarru’ dapat diganti oleh penerimaan ghashab karena dia lebih kuat, sebab penerimaan ghashab merupakan penerimaan tanggungan. Semuanya itu tidak perlu pembaruan penerimaan karena penerimaan hanya dengan akad sudah dibenarkan.
3.                  Pengecualian Kaedah
Kaedah di atas mengecualikan wasiat, di mana wasiat adalah tabarru’. Akan tetapi, wasiat bisa sah dengan tanpa penerimaan.[11]
a.       Hibah
Hibah merupakan bentuk masdar dari (  - يهب -هبةوهب  ). Asalnya adalah وهبة  yaitu dari وهبالشئ “memberikan sesuatu”, seperti halnya kata ( وعد – يعد – عدة ), yang asalnya adalah وعدة. Bahwasanya keluarnya harta dengan derma (pemberian) bias berupa hibah, hadiah, dan sedekah.Jika tujuannya adalah utuk mendapatkan pahala akhirat,maka dinamakan sedekah. Jika dimaksudkan untuk kasih sayangmaka dinamakan hadiah.Dan jika dimaksudkan agar orang yang diberi, dapat memanfaatkannya maka dinamakan hibah. Pemberian dengan pengalihan hak milik atas hartanya yang jelas, yang ada semasa hidupnya, kepada orang lain. Pengalihan hak milik tidak termasuk di dalamnya masalah pinjaman. Misalnya seseorang memberi sebuah buku kepada orang lain tanpa mengambil imbalan sama sekali, maka dinamakan hibah.[12]
Dalam hadits Rasulullah SAW, dinyatakan :
عنعائشةرضياللهعنهاقالت : كانالنبيّسلىاللهعليهوسلميقبلالهديّةوينيبعليها.
Dari Aisyah r.a ia berkata : Pernah Nabi SAW menerima hadiah dan dibalasnya hadiah itu”

Belumlah dinamakan pemberian untuk dimiliki oleh seseorang, kecuali bila pemberia itu telah dipegangnya. Kalau salah seseorang meninggal, baik yang member atau yang diberi, ahli waris masing-masing berhak menggantikannya. Kalau pemberian itu dari bapak kepada anak-anaknya, hendaklah disamakan, sedapat mungkin, seperti pemberian harta pusaka, yaitu bagian laki-laki dua kali bagian perempuan. Rasulullah SAW bersabda :[13]

اتقوااللهواعدلوابينأولادكم ( رواهالبخاريومسلمعنالنعانبنبشير ).
Takutlah kamu pada Allah, dan berlaku adillah antara anak-anakmu”

 Aplikasi Kaidah
1.                  Bagian I
Rukun Hibah dan penerimanya[14]
a.       Pasal 692 dalam KHES
a)      Ijab Qabul dalam hibah
Ia dianggap sah dengan adanya Ijab-Qabul dan pemberian yang menunjukkan adanya hibah. Ijab yaitu lafadz yang muncul dari pihak yang memberi hibah. Qabul yaitu lafadz yang muncul dari orang yang diberi hibah. Misalnya dengan mengatakan :” Buku ini aku hibahkan kepadamu”,  lalu orang kedua mengatakan “Aku terima”. Yang pertama dinamakan ijab, dan yang kedua dinamakan Qabul.
b)      Pasal 693 dalam KHES[15]
Pemberiaan yang menunjukkan adanya hibah.Yakni hibah juga berwujud dengan pemberian meski tapa melafadzkannya. Dengan syarat pemberian tersebut menunjukkan makna hibah. Misalnya : seseorang mengadakan acara walimah. Lalu rekannya mengirim seekor kambing dan tidak mengatakan apa-apa. Lalu orang tersebut menerimanya dan menyembelihnya kemudian menyuguhkannya kepada tamu undangan. Maka hibah itu sah sebab pemberian tersebut menunjukkan hibah.
c)      Pasal 697 dalam KHES[16]
Serah terima barang hibah. Hibah dianggap berlaku dengan adanya Qabdh (serah terima) atas seizing orang yang member hibah, kecuali untuk barang yang berada di tangan orang yang diberi hibah. Dan ahli waris orang yang menghibahkan hartanya menempati posisinya. Misalnya : Aku hibahkan untaku yang ada di kandangku kepadamu”. Lalu dia menjawab : “Saya terima,” lalu orang tersebut segera pergi ke kandang dan mengambil unta yang dimaksud, bahwasanya hibah tersebut tidak berlaku sebelum pemiliknya mengatakan: ”Pergilah ke kandang dan ambillah.” Atau dia pergi bersamanya lalu menyerahkannya kepada orang yang diberi hibah tersebut. Adapun mengambil tanpa seizing yang member, maka hal ini dibolehkan.
d)     Pasal 701 dalam KHES
Kecuali untuk barang yang berada di tangan orang yang diberi hibah
Misalnya seseorang meminjam sebuah buku dari orang lain, maka ia tidak perlu izin dari orang yang menghibahkannya. Pemilik buku itu berkata :” Aku hibahkan kepadamu bukuku yang engkau pinjam dariku”. Maka tidak perlu dikatakan :”Apakah engkau mengizinkan aku untuk mengambilnya?”
e)      Pasal 702 dalam KHES
Menggugurkan utang orang lain melalui hibah. Barangsiapa membebaskan orang yang berutang kepadanya dari utangnya dengan lafadz penghalalan, sedekah, hibah, atau yang lainnya, maka orang tersebut terbebas dari kewajibannya, meskipun ia tidak menerimanya. Misalnya : seseorang memiliki piutang pada orang lain berupa 100 dinar dan 100 dirham, lalu dia berkata :” Aku bebaskan engkau dari salah satu utangmu (kepadaku),” namun dia tidak menentukan utang tersebut.Lalu orang yang berutang berkata :” Yang dimaksud adalah dinar,” namun yang membebaskan berkata :” Tidak, tapi yang dirham.” Maka kita kembalikan pada perkataan orang yang membebaskan utang tersebut. Sebab, dia lebih mengetahui niatnya, dan harta tersebut adalah hartanya, sehingga ia boleh memilih mana saja yang hendak dibebaskan.

2.                  Bagian Ketiga[17]
a.       Hukum menarik kembali hibah
a)         Pasal 717 dalam KHES
Seseorang yang telah memberi hibah tidak boleh menarik kembali hibahnya yang telah berlaku, dan ia boleh mengambil dan memiliki harta anaknya selama ia tidak menimbulkan kemudharatan kepadanya dan ia pun tidak membutuhkannya. Misalnya : Ada seseorang yang mengatakan kepada orang lain: “ Aku hibahkan salah satu mobilku kepadamu,” lalu orang tersebut menjawab : “Aku terima,” namun setelah menghibahkan mobil tersebut, dia menariknya kembali, maka hal itu diperbolehkan. Sebab hibah tersebut belum diterima oleh orang yang diberi, padahal hibah belum berlaku kecuali setelah adanya Qabdh (penerimaan dari orang yang diberi). Bila seseorang berkata :”Aku tarik kembali hibah tersebut,namun hibah tersebut telah berlaku dan diharamkan baginya untuk menarik kembali hibahnya tersebut.
b)      Pasal 725 dalam KHES
Apabila seseorang menghibahkan barang yang digadaikan, maka hibah itu tidak sah. Sebab barang gadaian tidak sah untuk dijualbelikan. Namun, jika seseorang menghibahkan barang yang ia sewakan maka sah hibahnya.Sebab, barang yang disewakan boleh diperjualbelikan. Hanya saja, orang yang menerima hibah tidak boleh memanfaatkan barang hibah tersebut kecuali setelah habisnya masa sewa. Misalnya : jika seseorang menyewakan rumahnya untuk jangka waktu satu tahun. Setelah berjalan 6 bulan, rumah tersebut ia hibahkan kepada orang lain, maka hibah tersebut sah. Namun orang yang menerima hibah tidak dapat memanfaatkannya, kecuali setelah selesai masa sewanya.

3.                  Bagian Keempat[18]
a.       Hibah bagi orang yang sedang sakit keras
a)      Pasal 733 dalam KHES
Misalnya : jika seorang wanita yang mulai merasakan sakit ketika hendak melahirkan memberikan hartanya, maka pemberian tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga harta itu. Sebab, dia berada di kondisi yang sangat kritis. Sehingga hukum yang berlaku baginya seperti yang berlaku bagi orang yang mengalami sakit yang menghawatirkan.

BACA JUGA KAIDAH LAINNYA :  “Apa yang boleh dijual boleh juga di gadaikan” DAN Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya"


sumber:


[1] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah (Semarang, PT pustaka Rizki Putra, 2001), hlm. 27
[2]Gemala Dewi dkk. Hukum Perikatan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006),  hlm.45
[3] Ibid., hlm.49
[4]Hasballah Thaib, Hukum Aqad dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank Sistem Syariah (Medan, Program Pasca Serjanana USU, 2005), hlm. 4
[5] Ibid., hlm, 8-14
[6]Gemala Dewi dkk. Hukum Perikatan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006),  hlm. 60
[7]Abdullah Amrin, Asuransi Syariah : Kelebihan Dan Kekurangannya di Tengah Asuransi Konvensional (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2006), hlm. 60
[8] Adiwarman Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta, IIITI, 2002), hlm. 5
[9]A.Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih  (Jakarta: Prenada Media Group, 2010), hlm. 135
[10]Abdul Karim Zaidan,  Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawa’id Al-Fiqhiyyah fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, diterjemahkan Muhyiddin Mas Rida,Al-Wajiz (Cet.1; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,2008), hlm. 230.
[11]Ibid., hlm. 258-260.
[12] Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Asy-Syarhul Mumti’ Kitaabul Waqf wal Hibah wal Washiyyah, diterjemahkan Abu Hudzaifah (Cet.1;Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’I, 2008), hlm. 105-108
[13] Ibnu Mas’ud, Fiqih Madzhzb Syafi’I Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat (Cet.II; Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 159-161
[14] Buku KHES (Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah)
[15] Ibid., 167
[16] Ibid., 169
[17] Ibid., hlm. 180
[18] Ibid., hlm. 192

Comments

Popular posts from this blog

kaidah Qawaid Fiqhiyyah : "Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya"

  Kaidah Fiqh اَلْعِبْرَةُبِالْمَقَاصِدِوَالْمُسَمِّيَاتِ لاَبِالْأَلْفَاظِ وَالتَسْمِيَاتِ “Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya.” Kaidah ini memberi pengertian bahwa yang jadi patokan adalah maksud hakiki dari kata-kata yang diucapkan atau perbuatan yang dilakukan bukan redaksi ataupun penamaan yang digunakan. Dan dari kaidah ini,bercabanglah satu kaidah lain yang melengkapinya, yang disebutkan dalam Jurnal Al-Ahkam Al-Adliyyah, yakni kaidah: اَلْعِبْرَةُ فىِ اْلعُقُوْدِ بِالْمَقَاصِدِ وَالْمَعَانِي لَا بِالْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي “Yang dijadikan pegangan dalam transaksi (akad) adalah maksud dan pengertian bukan redaksi ataupun premis.” Makna Kaidah Dari kaidah ini dipahami bahwa saat transaksi dilangsungkan, yang menjadi patokan bukanlah redaksi yang digunakan kedua pihak yang melangsungkan transaksi, melainkan maksud hakiki mereka dari kata-kata yang diucapkan dalam transaksi tersebut. Sebab, maksud hakikinya adalah penge

Departementalisasi Organsasi

Pengertian Departementalisasi Organsasi Departementalisasi adalah proses penentuan cara bagaimana kegiatan yang dikelompokkan. Beberapa bentuk departementalisasi sebagai berikut : •           Fungsi •           Produk atau jasa •           Wilayah •           Langganan •           Proses atau peralatan •           Waktu •           Pelayanan •           Alpa – numeral •           Proyek atau matriks 1.       Departementalisasi Fungsional               Departentalisasi fungsional mengelompokkan fungsi – fungsi yang sama atau kegiatan – kegiatan sejenis untuk membentuk suatu satuan organisasi. Organisasi fungsional ini barangkali merupakan bentuk yang paling umum dan bentuk dasar departementalisasi. kebaikan utama pendekatan fungsional adalah bahwa pendekatan ini menjaga kekuasaan dan kedudukan fungsi- funsi utama, menciptakan efisiensi melalui spesialisasi, memusatkan keahlian organisasi dan memungkinkan pegawai manajemen kepuncak lebih ketat terhadap fungs