مَاجَازَبَيْعُهُ جَازَرَهْنُهُ
“Apa yang
boleh dijual boleh juga di gadaikan.”
Sudah barang
tentu apa yang boleh dijual maka boleh juga digadaikan, akan tetapi tentu ada
kecualiannya seperti manfaat barang boleh disewakan tetapi tidak boleeh
deigadaikan Karena tidak bisa diserah terimakan.[1]
Hal ini dapat
dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para
pihak. Sebab, gadai merupakan perjanjian yang melibatkan harta sehingga
perlu dimanifestasikan dalam bentuk pernyataan tersebut seperti halnya jual
beli. Karenasetiap barang yang
diperdagangkan boleh pula digadaikan dalam tanggungan hutangnya[2].Seperti dalam kaidah
yang tersebut di atas
مَاجَازَبَيَعُه جَازَرَهْنُهُوَكُلُّ
Setiap sesuatu
yang diperbolehkan untuk dijual maka boleh digadaikan.
Pengertian Jual Beli
Secara
terminilogi fiqh jual beli disebut dengan al-ba’i yang berarti menjual,
mengganti, dan menukar suatu dengan suatu yang lain. Lafal al-ba’I terkadang
dlam terminologi fiqh dipakai untu pengertian lawannya, yaitu al-syira’ yang
berarti membeli. Dengan demikian al-ba’i mengandung arti menjual sekaligus
membeli atau jual beli. Menurut Hanafiah al-ba’i mengandung arti secara
definitif yaitu tukar menukar harta benda atau suatu yang dinginkan dengan
sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu dan bermanfaat. Adapun menurut
malikiah, syafi'iyah dan hanabilah al-ba’i adalah tukar menukar harta dengan
harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan. Menurut Pasal 20 ayat 2
kompilasi hukum ekonomi syariah, ba’i adalah jual beli antara benda dengan
benda atau pertukaran antara benda dengan uang.[3]
Pensyariatan Jual Beli
Artinya: Dan
Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba (QS. Al baqarah:275)
Kaum muslimin
telah berijma’ akan bolehnya jual beli, dan hikmah juga mengharuskan adanya
jual beli, Karena hajat manusia banyak bergantung dengan apa yang dimiliki oleh
orang lain.[4]
Rukun jual
beli
1.
Pelaku transaksi, yaitu penjual dan
pembeli
2.
Objek transaksi, yaitu harga dan
barang
3.
Akad transaksi, yaitu segala
tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang menunjukan mereka sedang
melakukan transaksi, baik tindakan itu berbentuk kata-kata maupun tindakan
Syarat Sahnya jual
beli
1.
Saling rela antara kedua belah
pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan transaksi mutlak
keabsahannya, berdasarkan firman Allah SWT
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan
jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu.
2.
Pelaku aqad adalaha orang yang
dibolehkan melakukan aqad, yaitu orang yang telah baliq dan berakal serta
mengerti hokum. Maka aqad yang dilakukan anak dibawah umur dan rang gila tidak
sah ecuali dengan seizing walinya.
3.
Harta yang menjadi objek transaksi
telah dimiliki sebelumnya yaitu merupakan barang milik sendiri.
4.
Objek transaksi adalah barang yang
dibolehkan dalam agama, maka tidak boleh menjual barang yang haram
5.
Objek transaksi adalah barang yang
bisa diserahterimakan
6.
Objek jual beli diketahui oleh kedua
belah pihak saat akad. Maka tidak sah menjual barangyang tidak jelas
7.
Harga harus jelas saat transaksi.[5]
Pengertian
Rahn (Gadai)
Rahn secara
etimologis, berarti tsubut (tetap) dan dawam (kekal, terus menerus). Dikatakan
ma’rahin artinya air yang diam (tenang). Ada yang mengatakan bahwa rahn adalah
habs (menahan) berdasrakan firman Allah dalam surat al- mudatsir ayat 38:
Atinya:
Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya
Maksudnya
setiap diri itu tertahan, maka makna yang lebih dekat dengan makna yang pertama
yakni tetap, Karena sesuatu yang tertahan itu bersifat tetap ditempatnya.
Adapun rahn secara terminologis adalah menjadikan harta benda sabagai jaminan
utang agar utang itu dilunasi (dikembalikan).
Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti
al-tsubut dan al-habs yaitu tetap, kekalatau penahanan.[6] Sedangkan gadai atau Rahn menurut
syariah adalah penyerahan harta benda sebagai jaminan hutang, yang hak kepemilikannya
dapat diambil alih ketika sulit untuk menebusnya.[7]
Dasar Hukum Rahn
Rahn (gadai)
hukumnya boleh berdasarkan dalil Al-quran, hadis dan ijma’:
1.
Dalil Al-Quran surat Al-baqarah ayat
283
Artinya:jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang.
2. Hadist rwayat
Bukhari Muslim dari ‘Aisyah r.a
اَنِّ النَّبِيَّ صلى
الله عليه وسلّم اشْتَرَى طَعَاماً من يَهُوْدِيًّ الى أجل ورهنه دِرْعاً مِنْ
حَدِيْدٍ (رواه البخري و مسلم)
Artinya:
bahwa rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan pembayaran tempo dan
menggadaikan baju perangnya.(HR. Bukhari dan Muslim)
3.
Dasar ijma’ bahwa diperbolehkan rahn
(gadai) secara syariat.[8]
Rukun
dan Syarat Rahn
Demi
keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan, ada beberapa rukun dan syarat yang
harus dipenuhi yaitu:
1.
Ijab Qabul (sighat)
Hal ini dapat
dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya
terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para
pihak. Sebab, gadai merupakan perjanjian yang melibatkan harta sehingga
perlu dimanifestasikan dalam bentuk pernyataan tersebut seperti halnya jual
beli, karena gadai sendiri itu tak jauh berbeda dengan akad jual-beli
Jika ditarik
kesimpulan dari kaidah diatas, maka secara tidak langsung ditemukan kesamaan
hukum diantara kedua akad yang berbeda tersebut, yakni harus sama-sama
menggunakan wazan sighat, yakni Ijab dan Qabul antara Rahin
dan Murtahin.
2.
Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai
yaitu Rahin (pemberi gadai) dan Murtahin (penerima gadai)
adalah telah dewasa, berakal sehat, dan atas keinginan sendiri.
3.
Adanya barang yang digadaikan
(Marhun)
Syarat-syarat
yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh Rahin (pemberi
gadai) adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat,
milik Rahin secara sah, jelas, tidak bersatu dengan harta lain,
dikuasai oleh Rahin, dan harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Dengan
demikian barang-barang yang tidak dapat diperjual-belikan tidak dapat
digadaikan.
4.
Hutang (Marhun Bih)
Menurut ulama
Syafiiyah syarat sebuah hutang yang dapat dijadikan alas hak atas gadai adalah
berupa hutang yang tetap dapat dimanfaatkan , hutang tersebut harus lazim pada
waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui
oleh Rahin dan Murtahin.[9]
Syarat
gadai-menggadai
Gadai ialah
menjadikan suatu benda yang berupa harta dan ada harganya, sebagai jaminan
hutang dan akan dijadikan pembayaran hutangnya jika hutang itu tidak dapat
dibayar
a.
ijab qabul yakni tanda serah terima
b.
syarat harta yang digadaikan ialah
benda yang sah dijual.
c.
syarat harta yang digadaikan dan
yang menerima gadaian itu akhil baligh, dan tidak dilarang mempergunakan
hartanya dan dilakukannya dengan kemauannya. Maka tidaklah diperbolehkan wali
megadaikan barang milik anak kecil, misalnya anak yatim, harta benda milik
orang gila dan sebagainya.
d.
tidak boleh merugikan orang yang
menggadai, misalnya dengan perjanjian barangnya boleh dipakai oleh orang yang
menerima gadai.
e.
tidak merugikan orang yang menerima
gadai, misalnya gadai dengan perjanjian tidak boleh menjual benda yang
digadaikan itu, setelah datang waktunya, sedang utang sudah sangat diperlukan
bagi yang menerima gadai.[10]
Keterkaitan
antara Jual Beli dan Rahn (Gadai)
Semua barang
yang boleh diperdagangkan boleh pula digadaikan di dalam tanggungan hutangnya,
apabila hutang telah tetap menjadi tanggungan orang yang berhutang. Orang yang
menggadaikan barangnya boleh menarik kembali barangnya, selagi barangnya belum
diterima oleh penerima penggadaian.
Mushannif
dalam dalam kitab Fathul Qarib menerangkan tentang batasan barang yang telah
digadaikan, dalam perkataanya bahwa bahwa tiap-tiap boleh (sah) dijual belikan,
maka boleh pula digadaikannya dalam urusan beberapa utang, ketika benar-benar
hutang-hutang tersebut telah tetap berada dalam tanggungannya.[11]
Dilihat dari
rukun dan syarat jual beli maka hampir serupa dengan rukun dan syarat yang ada
rahn (gadai). Shigat (ijab qabul) yang ada pada keduanya merupakan syarat
sahnya kedua aqad tersebut, dimana keduanya harus tasarruf yaitu baligh,
berakal, tidak idiot dan tidak paksa dalam transaksi. Kemudian dari segi ma’qud
alaih (objek atau barang) dalam transaksi jual beli ataupun rahn adalah dapat
diserahterimakan, bermanfaat, harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki
sebelumnya yaitu merupakan barang milik sendiri, jelas barangnya tidak bersatu
dengan harta lain dan syarat harta yang digadaikan ialah benda yang sah dijual.
Objek
transaksi adalah barang yang dibolehkan dalam agama, maka tidak boleh
menjual atau menggadai barang yang haram
atau dialarang dalam agama. Dan juga kedua belah pihak baik itu penjual dan
pembeli maupun rahin dan marhun tidak boleh merugikan atau memudhratkan
keduabelah pihak. Jika ditarik kesimpulan maka secara tidak langsung ditemukan
kesamaan hukum diantara kedua akad yang berbeda tersebut, yakni harus sama-sama
menggunakan wazan sighat, yakni ijab dan Qabul antara Rahin
dan Murtahin maupun penjual dan pembeli
Hubungan
kaidah (ما جاز بيعه جاز رهنه) dengan Kaidah Asasi
Kaidah ini
dapat dikaitkan dengan kaidah asasi yang lima atau al-qawa’id al-khamsah yaitu
kaidah yang mencakup semua aspek didalamnya baik itu aspek ibadah maupun
muamalah. Seperti kita ketahui bahwa kaidah-kaidah fiqh itu memiliki ruang
lingkup dan cakupan yang berbeda, dari luang lingkup yang paling luas dan
cakupan yang paling banyak sampai pada kaidah-kaidah fiqh yang ruang lingkupnya
sempit dan cakupannya sedikit[12].
Sehingga al- al-qawa’id al-khamsah ini bisa kita terapkan dam kaitkan dengan
kaidah yang ruang lingkupnya khusus.
Pertama,
kaidah (ماجاز بيعه جاز رهنه) yaitu apa yang boleh
dijual boleh pula digadaikan berkaitan dengan al-qawa’id al-khamsah yaitu
kaidahالضرر يزالyaitu kemudharatan harus
dihilangkan.
Seperti yang
dikatakan oleh Izzudin ibn Abd-Salam bahwa tujuan syariah adalah untuk menarik
kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Maka kaidah ini bertujuan untuk
merealisasikan maqasyid al-syariah dengan menolak mafsadah, dengan cara
menghilangkan kemudharatan atau setidaknya meringankannya. Kaidah meliputi
lapangan yang luas didalam fiqh bahkan meliputi seluruh materi fiqh yang ada.[13]
Landasan
hukum tentang kaidah ini yaitu:
Q.S.
Al-Baqarah ayat 231
Artinya:
Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya,
Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan
cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi
kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka.
Q.S.
Ath-Thalaq ayat 6
Artiya:
Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut
kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati)
mereka.
Q.S.
Al-maidah ayat 105
Artinya: Hai
orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan
memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. hanya kepada
Allah kamu kembali semuanya, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah
kamu kerjakan.
Hadis yang
diriwayatkan oleh Ibnu Madjah
Tidak boleh
memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan (HR. Ibnu Madjah dari Ibnu
Mas’ud).[14]
Dengan
demikian ada kesan kesimbangan atau keadilan dalam perilaku, serta secara moral
menunjukkan mulianya akhlak karena tidak mau memudharatkan orang lain dan juga
tidak mau dimudhratkan oleh orang lain, Karena pada dasarnya kemudharatan itu
harus dihilangkan.
Hal ini
berkaitan erat dengan kedua transaksi diatas yaitu jual beli dan rahn (gadai)
dimana antara keduabelah pihak yang melakukan transaksi tidak boleh saling
memudharatkan. Kemudharatan dalam kedua transaksi ini bisa berupa tidak saling
ridhanya keduabelah pihak, barang yang menjadi objek transaksi tidak jelas,
maupun terjadi penipuan. Oleh karena itu dalam melakukan kedua transaksi ini
baik jual beli ataupun rahn (gadai) harus mengutamakan kemaslahatan dan
menghilangkan kemudharatan.
kedua, kaidah
(ما جاز بيعه جاز رهنه) bisa kita kaitkan dengan kaidah المَشَقَّةُ تَجْلِبُ
التَيْسِرُ yaitu
kesulitan iitu bisa mendatangkan kemudahan.
Qaidah ini
merupakan dasar penting dari sumber syariah. Mayoritas dispensasi syar’i
didasari oleh kadah ini. Al- Masyaqqah ditinjau dari segi Bahasa memiliki arti
kesush payahan atau kesukaran. Dengan kata lain kata lain mereka tidak mapu
melakukaan hal itu kecuali dengan mengalami kepayahan dan kesukaran pada
dirinya. Termasuk diantara al masyaqqah adalah kesulitan, kepayahan, kesukaran,
sempit dan berat. Al-masyaqqah yang bisa menyebabkan kemudahan disini adalah
kesulitan yang bisa menghilangkan tuntutan syar’i. sedangkan maksud At-Taisir
dalam qaidah ini secara bahasa adalah kemudahan atau kelenturan sebagaimana
hadis اِنّ الّين يسرyaitu agama itu mudah,
tidak memberatkan. Jadi dapat dipahami bahwa kesulitan dan kesukaran bisa
menjadi sebab kemudahan[15]. Maksudnya adalah
hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi
mukallaf, maka syariah meringankan sehingga mukallaf mampu melaksanakannya.
"Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya
diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan
yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat
tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan
Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran
bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu
bersyukur".
Hadist yang
diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari
يُسِرُّوا وَلاَتُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلاَتُنَفِّرُوا
(رواه البخري)
Artinya:
mudahkanlah mereka dan jangan kamu menyulitkan gembirakanlah mereka dan jangan
menyebabkan mereka lari (HR. Al-Bukhari)
Kaidah
Al-Masyaqqah dengan Al-Dharar terdapat kesamaan karena kedua-duanya harus
dihilangkan demi untuk kmaslahatan hidup. Dalam penerapan dan contoh-contoh
antara kaidah المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَيْسِرُdengan kaidah
sering memiliki kesamaan-kesamaan.[17]
Dengan
demikian, kemudahan-kemudahan yang dibeikan oleh syar’I dengan diperbolehkannya
transaksi hutang, tukar-menukar hutang (hiwalah), wasiat, akad salam, akad
syirkah maupun akad gadai dan lain sebagainya. Kemudahan tersebut diberikan
untuk mengantisipasi timbulnya kesulitan sekaligus untuk menraik kemudahan.[18]
Hal ini
berkaitan erat dengan dengan transaksi gadai, dimana kemudahan tersebut
diberikan untuk mengantisipasi timbulnya kesulitan, yaitu pada saat orang
sedang dalam perjalanan dan melakukan muamalah tidak secara tunai maka
dibolehkan melakukan gadai dengan dengan adanya barang tanggungan yang dipegang.
Hal ini sesuia dengan firman Allah SWT surat Al-baqarah ayat 283
Artinya:jika
kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak
memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang
(oleh yang berpiutang.
Jadi jelas disini bahwa kesulitan itu bisa
mendatangkan kemudahan.
baca juga kaidah lainnya :"Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya" DAN "tidak sempurna akad tabaru' kecuali dengan penyerahan barang"
sumber :
sumber :
[2]Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqh Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra),
hlm.423
[6]Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah
Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012,
Cet.2, Vol.2) hal.73
[9]Muhamad Nawawi Al-jawiy, Quuth
Al-Habib Al-Gharib Tausyekh ‘Ala Fath el-Qarib Al-Mujieb, (Jakarta: Dar
Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002) hal. 276
[11] Abu Hazim Mubarok, Fiqh Idola Terjemahan Fatul Qarib, (Jawa Barat:
Mukjizat, 2013), hlm.18
[12] A. Djzuli, kidah-kaidah fikih, hlm. 27
[15] Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyah dalam Perspektif Fiqh,
(Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, dengan Anglo Media, 2004), hlm. 83
[16]A. Djzuli, kidah-kaidah fikih, hlm. 59
Comments
Post a Comment