لاَ يَتِمُّ التَّبَرُّعُ
إِلاَّ بِالقَبْضِ
“ Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”
berbicara tentang kaidah ini maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu, yaitu :
Pengertian Akad
Akad
adalah salah satu sebab dari yang ditetapkan syara’ yang karenanya timbullah
beberapa hukum. Dengan memperhatikan takrit akad, dapatlah dikatakan bahwa akad
itu adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan
persetujuan masing-masing.[1]
Akad termasuk salah satu perbuatan hukum (tasharruf) dalam hukum Islam. Dalam
terminology fiqih akad diartikan sebagai pertalian antara ijab (pernyataan
melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan
kehendak syariat yang berpengaruh terhadap objek perikatan. Sesuai kehendak
syariat maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau
lebih tidak dianggap sah apabila tidak sesuai dengan kehendak syariat.[2]
Rukun
merupakan hal yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan sah secara hukum Islam.
Rukun adalah suatu unsur yang merupakan bagian tak terpisahkan dari suatu
perbuatan atau lembaga, yang menentukan sah atau tidaknya perbuatan tersebut
dan ada atau tidaknya sesuatu itu.[3]
perbedaan ulama fiqih dalam menentukan rukun akad, salah satu
pendapat ulama fiqih menyatakan rukun akad terdiri atas:[4]
1.
Pernyataan
untuk mengikatkan diri (sighat al-aqad)
2.
Pihak-pihak
yang ber-akad (al-muta’aqidain)
3.
Objek akad
(al-ma’qudalaihi)
Secara
umum, para ulama fiqih menetapkan syarat-syarat
dalam pembuatan akad selain dari syarat-syarat khusus yang tergantung
pada jenis dan kegiatan yang diperjanjikan dalam akad. Syarat umum suatu akad
adalah:[5]
1.
Para pihak yang
melakukan akad telah cakap menurut hukum
(mukallaf).
Mukallaf berarti telah dapat dibebani hukum, yang berarti segala
perbuatannnya dapat dipertanggungjawabkan dihadapan Allah SWT. Cakap artinya
telah dewasa dan tidak hilang akal, maka dari itu akad yang dilakukan orang
gila dan anak-anak dianggap tidak sah. Tetapi jika akad tersebut dilakukan oleh
orang tua mereka, atau walinya dan sifat akad
yang dilakukan tersebut memiliki manfaat bagi orang yang diwakilkan,
maka akad tersebut hukumnya sah.
2.
Memenuhi
syarat-syarat objek akad, yaitu:[6]
a.
Objek akad
telah ada ketika akad dilangsungkan
b.
Objek akad
sesuai syariat
c.
Objek akad
harus jelas dan dikenali
d.
Objek akad
dapat diserahterimakan.
3.
Akad tidak
dilarang oleh nash Al-Qur’an dan hadis
4.
Akad yang
dilakukan memenuhi syarat-syarat khusus yang terkait dengan akad itu. Artinya
selain harus memenuhi akad-akad umum seperti yang diuraikan ini, juga harus
memenuhi syarat-syarat yang dikhususkan untuk jenis akad tertentu.
5.
Akad harus
bermanfaat, oleh sebab itu ika sesorang melakukan suatu akad dan imbalan yang
diambil salah seorang yang berakad adalah kewajiban baginya, maka akad tersebut
batal.
6.
Pernyataan ijab
harus tetap utuh
dan sahih sampai
terjadinya qabul. Apabila ijab
tidak utuh dan sahih lagi ketika qabul diucapkan maka akad tidak sah. Hal ini
banyak terjadi dalam akad yang dilangsungkan melaui tulisan. Misalnya, dua
orang yang pedagang dari daerah yang berbeda melakukan transaksi dagang melalui
surat untuk membuat akad. Sebelum surat yang berisi ijan dari pihak pertama
sampai kepada pihak kedua, pihak pertama telah meninggal dunia maka ketika
surat sampai ke pihak kedua dan dia mengucapkan qabul-nya maka akad tersebut
dinyatakan tidak sah.
7.
Ijab dan qabul
dinyatakan dalam satu majelis, yaitu suatu keadaan yang menggambarkan suatu
proses transaksi. Menurut Mustafa Ahmad Az- Zarqa’ majelis yang dimaksud bisa
merupakan tempat dilangsungkannya akad atau bisa juga sebagai keadaan selama
proses berlangsungnya akad, sekalipun tidak pada satu tempat.
8.
Tujuan akad
harus jelas, dan diakui syara’. Tujuan akad berkaitan erat dengan berbagai
bentuk akad yang dilakukannya. Misalnya akad jual beli bertujuan untuk
memindahkan hak milik penjual kepada pembeli dengan imbalan sejumlah harga
kepada penjual oleh pembeli.
Pengertian Akad
Tabarru
Akad tabarru’ adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi
yang tidak mengejar
keuntungan (non profit transaction). Akad tabarru’ dilakukan
dengan tujuan tolong menolong dalam rangka berbuat kebaikan, sehingga pihak
yang berbuat kebaikan tersebut tidak berhak mensyaratkan imbalan apapun kepada
pihak lainnya. Imbalan dari akad tabarru’ adalah dari Allah, bukan dari
manusia. Namun demikian, pihak yang berbuat kebaikan tersebut boleh meminta
kepada rekan transaksi-nya untuk sekedar menutupi biaya yang dikeluarkannya
untuk dapat melakukan akad, tanpa mengambil laba dari tabarru’ tersebut. Contoh
dari akad tabarru’ adalah qard, wadi’ah, wakalah, rahn, hibah, dan sebagainya.[7]
Adi
Karim menjelaskan bahwa pada dasarnya, akad tabarru’ ini adalah memberikan
sesuatu (giving something) atau meminjamkan sesuatu (lending something). Bila
akadnya adalah meminjamkan sesuatu, maka objek pinjamannya dapat berupa uang
(lending) selain meminjamkan uang dapat pula meminjamkan jasa (lending
yourself).
Ketika
bentuk umum dari akad tabarru’ yang akan dijelaskan sebagai berikut:[8]
1.
Meminjamkan
uang (lending $)
Akad
meminjamkan uang ini ada beberapa macam lagi jenisnya, setidaknya ada 3 jenis yakni sebagai berikut :
a.
Bila pinjaman
ini diberikan tanpa mensyaratkan apapun, selain mengembalikan pinjaman tersebut
setelah jangka waktu tertentu maka bentuk meminjamkan uang seperti ini disebut
dengan qardh.
b.
Selanjutnya,
jika meminjamkan uang ini, si pemberi pinjaman mensyaratkan suatu jaminan dalam
bentuk atau jumlah tertentu, maka bentuk pemberian pinjaman seperti ini disebut
dengan rahn.
c.
Ada lagi suatu
bentuk pemberian pinjaman uang dimana tujuannya adalah untuk mengambil alih
piutang dari pihak lain. Bentuk pemberian pinjaman uang dengan maksud seperti
ini adalah hiwalah.
2.
Meminjamkan
jasa kita (lending yourself)
Seperti akad meminjamkan uang, akad
meminjamkan jasa juga terbagi menjadi 3 jenis yakni sebagai berikut
a.
Bila kita
meminjamkan “diri kita sendiri” (yakni jasa keahlian/ keterampilan, dan
sebagainya) saat ini untuk melakukan sesuatu atas nama oerang lain, maka hal
ini disebut wakalah. Karena kita melakukan sesuatu atas nama orang yang kita
bantu tersebut, sebenarnya kita menjadi
wakil atas orang itu. Itu sebabnya akad ini diberi nama wakalah
b.
Selanjutnya
bila akad wakalah ini kita rinci tugasnya, yakni bila kita menawarkan jasa kita
untuk menjadi wakil seseorang, dengan tugas menyediakan jasa custody
(penitipan, pemeliharaan), bentuk peminjaman ini disebut akad wadi’ah
c.
Ada variasi
lain dari akad wakalah yakni contigent wakalah (wakalah bersyarat). Dalam hal
ini, kita bersedia memberikan jasa kita untuk melakukan sesuatu atas nama orang
lain, jika terpuenuhi kondisinya atau jika sesuatu terjadi. Misalkan seorang dosen
menyatakan kepada asistennya. “Tugas anda adalah menggantikan saya mengajar
bila saya berhalangan”. Dalam kasus ini, yang terjadi adalah wakalah bersyarat.
Asisten hanya bertugas mengajar (yakni melakukan sesuatu atas nama dosen), bila
dosen yang berhalangan (yakni bila terpenuhi kondisinya, jika sesuatu terjadi).
Jadi asisten ini tidak otomatis menjadi wakil dosen. Wakalah bersyarat dalam
terminologi fiqh disebut sebagai akad kafalah.
3.
Memberikan
sesuatu (giving something)
Yang
termasuk dalam golongan ini adalah akad-akad sebagai berikut : hibah, waqaf,
shadaqah, hadiah, dan lain-lain. Dalam semua akad-akad tersebut, si pelaku
memberikan sesuatu kepada orang lain. Bila penggunaannya untuk kepentingan umum
dan agama maka akadnya dinamakan waqaf. Objek waqaf tidak boleh
diperjualbelikan begitu dinyatakan sebagai aset waqaf. Sedangkan hibah dan
hadiah adalah pemberian sesuatu secara sukarela kepada orang lain.
Makna Kaidah
Akad
tabarru’ adalah akad yang dilakukan demi untuk kebajikan semata seperti hibah atau
hadiah. Hibah tersebut belum mengikat sampai penyerahan barangnya dilaksanakan.[9]
Tabarru’ sendiri adalah memberikan harta tanpa meminta balasan. Tabarru’
mencakup hadiah, hibah, dan sedekah. Disyaratkan penerimaan dari pihak yang
diberi dikarenakan jika Tabarru’ tanpa ada penerimaan, maka hal ini akan
merombak kaedah yang telah mapan dalam fikih, yaitu seseorang tidak boleh
memasukkan sesuatu dalam milik orang lain tanpa keridhaannya. Maksudnya
seseorang tidak boleh memberikan sesuatu kepada orang lain tanpa kerelaannya.
Atau dengan kata lain, sesuatu tidak masuk dalam milik seseorang secara paksa
kepadanya kecuali warisan.Di samping itu, jika tabarru’ tidak disertai
penerimaan, maka bagi Mutabarra’ Lah (orang yang menerima tabarru’) berhak
menuntut mutabarri’ (pemberi tabarru’)
untuk menyerahkan barang tabarru’. Sehingga tabarru’ menjadi akad tanggungan
(dhaman) dan ini tidak boleh terjadi. Atas dasar ini, apabila belum terjadi
penerimaan sedangkan Mutabarri’ atau Mutabarra’ Lah meninggal dunia, maka tabarru’
menjadi batal.
Dalil dan Asas
Kaedah
Kaedah
ini mempunyai dalil atau landasan dari segi syarat penerimaan demi kesempurnaan
tabarru’. Yaitu:
apa yang diriwayatkan oleh Imam Maliki dalam
Al-Muwaththa’ dengan sanad shahih dari Aisyah Radhiyallahu Anha bahwa Abu Bakar
berkata kepadanya dalam keadaan sakit yang menyebabkan meninggal dunia, “aku
manghadiahimu pohon kurma, jika kamu memetik buahnya, maka itu adalah milikmu,
akan tetapi sekarang milik ahli waris.”
1.
Syarat-syarat
Sah Penerimaan[10]
Sahnya
penerimaan oleh Mutabarra’lah disyaratkan dengan izin Mutabarri’ secara jelas,
seperti perkataannya, “terimalah” atau “aku telah mengizinkanmu untuk menerima”.
Terkadang izin dilakukan dengan tersirat, seperti Mutabarra’ Lah menerima
barang di majelis akad dan dia tidak dilarang oleh mutabarri’. Disyaratkan juga
barang yang diserahkan tidak disibukkan dengan yang lain saat penyerahan. Jika
seseorang menghibahkan binatang yang di atasnya ada barang bawaan, atau rumah
yang di dalamnya terdapat barang-barang milik pemberi hibah, lalu
menyerahkannya beserta dengan perkara yang menyibukkan tersebut (barang yang
tidak masuk dalam hibah), maka penerimaan tidak sah.
Syaratnya
yang lain adalah barang yang diserahkan merupakan sesuatu yang menjadi obyek
penerimaan. Jika seseorang menghibahkan sesuatu yang berada dalam perut kambing
miliknya, maka penerimaan tidak sah walaupun anaknya bisa diterima setelah
lahir.
Syarat
yang lain, barang yang diserahkan tidak berhubungan dengan barang lainnya.
Karena hal itu masuk dalam mkana milik umum. Jika seseorang menghibahkan
tanaman tanpa tanah atau tanah tanpa
tanaman, ataupun buah tanpa pohon atau pohon tanpa buah, lalu menyerahkan
semuanya, maka penerimaannya tidak sah.
Terakhir,
penerimaan harus orang yang ahli untuk menerima. Maka tidak boleh penerimaan
yang dilakukan oleh orang gila dan anak kecil yang belum tamyiz. Namun,
penerimaan boleh dilakukan dengan cara kewilayahan yang memperbolehkan menerima
seperti ini. Maka penerimaan seseorang boleh diwakili wali atau penanggungnya.
2.
Penerimaan yang
Telah Dahulu Mengganti yang Belakang
Penerimaan
yang dahulu dalam masalah tabarru’ mengganti penerimaan yang belakang apabila
yang dahulu seperti yang belakang atau lebih kuat darinya. Adapun jika berada
di bawahnya, maka tidak dapat menggantinya. Penerimaan amanat seperti penitipan
dan pinjam meminjam dapat mengganti penerimaan tabarru’, karena serupa
dengannya. Begitu juga penerimaan tabarru’ dapat diganti oleh penerimaan
ghashab karena dia lebih kuat, sebab penerimaan ghashab merupakan penerimaan
tanggungan. Semuanya itu tidak perlu pembaruan penerimaan karena penerimaan
hanya dengan akad sudah dibenarkan.
3.
Pengecualian
Kaedah
Kaedah
di atas mengecualikan wasiat, di mana wasiat adalah tabarru’. Akan tetapi,
wasiat bisa sah dengan tanpa penerimaan.[11]
a.
Hibah
Hibah merupakan bentuk masdar dari
( - يهب -هبةوهب ).
Asalnya adalah وهبة yaitu
dari وهبالشئ “memberikan sesuatu”, seperti halnya kata ( وعد – يعد – عدة ), yang asalnya adalah وعدة. Bahwasanya keluarnya harta dengan derma
(pemberian) bias berupa hibah, hadiah, dan sedekah.Jika tujuannya adalah utuk
mendapatkan pahala akhirat,maka dinamakan sedekah. Jika dimaksudkan untuk kasih
sayangmaka dinamakan hadiah.Dan jika dimaksudkan agar orang yang diberi, dapat
memanfaatkannya maka dinamakan hibah. Pemberian dengan pengalihan hak milik
atas hartanya yang jelas, yang ada semasa hidupnya, kepada orang lain.
Pengalihan hak milik tidak termasuk di dalamnya masalah pinjaman. Misalnya
seseorang memberi sebuah buku kepada orang lain tanpa mengambil imbalan sama sekali, maka
dinamakan hibah.[12]
Dalam hadits
Rasulullah SAW, dinyatakan :
عنعائشةرضياللهعنهاقالت
: كانالنبيّسلىاللهعليهوسلميقبلالهديّةوينيبعليها.
“
Dari Aisyah r.a ia berkata : Pernah Nabi SAW menerima hadiah dan dibalasnya
hadiah itu”
Belumlah
dinamakan pemberian untuk dimiliki oleh seseorang, kecuali bila pemberia itu
telah dipegangnya. Kalau salah seseorang meninggal, baik yang member atau yang
diberi, ahli waris masing-masing berhak menggantikannya. Kalau pemberian itu
dari bapak kepada anak-anaknya, hendaklah disamakan, sedapat mungkin, seperti
pemberian harta pusaka, yaitu bagian laki-laki dua kali bagian perempuan.
Rasulullah SAW bersabda :[13]
اتقوااللهواعدلوابينأولادكم
( رواهالبخاريومسلمعنالنعانبنبشير ).
“
Takutlah kamu pada Allah, dan berlaku adillah antara anak-anakmu”
Aplikasi Kaidah
1.
Bagian I
Rukun
Hibah dan penerimanya[14]
a.
Pasal 692 dalam
KHES
a)
Ijab Qabul
dalam hibah
Ia dianggap sah dengan adanya Ijab-Qabul dan pemberian yang
menunjukkan adanya hibah. Ijab yaitu lafadz yang muncul dari pihak yang memberi
hibah. Qabul yaitu lafadz yang muncul dari orang yang diberi hibah. Misalnya
dengan mengatakan :” Buku ini aku hibahkan kepadamu”, lalu orang kedua mengatakan “Aku terima”.
Yang pertama dinamakan ijab, dan yang kedua dinamakan Qabul.
b)
Pasal 693 dalam
KHES[15]
Pemberiaan yang menunjukkan adanya hibah.Yakni hibah juga berwujud
dengan pemberian meski tapa melafadzkannya. Dengan syarat pemberian tersebut
menunjukkan makna hibah. Misalnya : seseorang mengadakan acara walimah. Lalu
rekannya mengirim seekor kambing dan tidak mengatakan apa-apa. Lalu orang
tersebut menerimanya dan menyembelihnya kemudian menyuguhkannya kepada tamu
undangan. Maka hibah itu sah sebab pemberian tersebut menunjukkan hibah.
c)
Pasal 697 dalam
KHES[16]
Serah terima barang hibah. Hibah dianggap berlaku dengan adanya
Qabdh (serah terima) atas seizing orang yang member hibah, kecuali untuk barang
yang berada di tangan orang yang diberi hibah. Dan ahli waris orang yang
menghibahkan hartanya menempati posisinya. Misalnya : “ Aku
hibahkan untaku yang ada di kandangku kepadamu”. Lalu dia menjawab : “Saya
terima,” lalu orang tersebut segera pergi ke kandang dan mengambil unta yang
dimaksud, bahwasanya hibah tersebut tidak berlaku sebelum pemiliknya
mengatakan: ”Pergilah ke kandang dan ambillah.” Atau dia pergi bersamanya lalu
menyerahkannya kepada orang yang diberi hibah tersebut. Adapun mengambil tanpa
seizing yang member, maka hal ini dibolehkan.
d)
Pasal 701 dalam
KHES
Kecuali untuk barang yang berada di tangan orang yang diberi hibah
Misalnya seseorang meminjam sebuah buku dari orang lain, maka ia
tidak perlu izin dari orang yang menghibahkannya. Pemilik buku itu berkata :”
Aku hibahkan kepadamu bukuku yang engkau pinjam dariku”. Maka tidak perlu
dikatakan :”Apakah engkau mengizinkan aku untuk mengambilnya?”
e)
Pasal 702 dalam
KHES
Menggugurkan utang orang lain melalui hibah. Barangsiapa
membebaskan orang yang berutang kepadanya dari utangnya dengan lafadz
penghalalan, sedekah, hibah, atau yang lainnya, maka orang tersebut terbebas
dari kewajibannya, meskipun ia tidak menerimanya. Misalnya : seseorang memiliki
piutang pada orang lain berupa 100 dinar dan 100 dirham, lalu dia berkata :”
Aku bebaskan engkau dari salah satu utangmu (kepadaku),” namun dia tidak
menentukan utang tersebut.Lalu orang yang berutang berkata :” Yang dimaksud
adalah dinar,” namun yang membebaskan berkata :” Tidak, tapi yang dirham.” Maka
kita kembalikan pada perkataan orang yang membebaskan utang tersebut. Sebab,
dia lebih mengetahui niatnya, dan harta tersebut adalah hartanya, sehingga ia
boleh memilih mana saja yang hendak dibebaskan.
2.
Bagian Ketiga[17]
a.
Hukum menarik
kembali hibah
a)
Pasal 717 dalam
KHES
Seseorang yang telah memberi hibah
tidak boleh menarik kembali hibahnya yang telah berlaku, dan ia boleh mengambil
dan memiliki harta anaknya selama ia tidak menimbulkan kemudharatan kepadanya
dan ia pun tidak membutuhkannya. Misalnya : Ada seseorang yang mengatakan
kepada orang lain: “ Aku hibahkan salah satu mobilku kepadamu,” lalu orang
tersebut menjawab : “Aku terima,” namun setelah menghibahkan mobil tersebut,
dia menariknya kembali, maka hal itu diperbolehkan. Sebab hibah tersebut belum
diterima oleh orang yang diberi, padahal hibah belum berlaku kecuali setelah
adanya Qabdh (penerimaan dari orang yang diberi). Bila seseorang berkata :”Aku
tarik kembali hibah tersebut,namun hibah tersebut telah berlaku dan diharamkan
baginya untuk menarik kembali hibahnya tersebut.
b)
Pasal 725 dalam
KHES
Apabila seseorang menghibahkan barang yang digadaikan, maka hibah
itu tidak sah. Sebab barang gadaian tidak sah untuk dijualbelikan. Namun, jika
seseorang menghibahkan barang yang ia sewakan maka sah hibahnya.Sebab, barang
yang disewakan boleh diperjualbelikan. Hanya saja, orang yang menerima hibah
tidak boleh memanfaatkan barang hibah tersebut kecuali setelah habisnya masa
sewa. Misalnya : jika seseorang menyewakan rumahnya untuk jangka waktu satu tahun.
Setelah berjalan 6 bulan, rumah tersebut ia hibahkan kepada orang lain, maka
hibah tersebut sah. Namun orang yang menerima hibah tidak dapat
memanfaatkannya, kecuali setelah selesai masa sewanya.
3.
Bagian Keempat[18]
a.
Hibah bagi
orang yang sedang sakit keras
a)
Pasal 733 dalam
KHES
Misalnya : jika seorang wanita yang
mulai merasakan sakit ketika hendak melahirkan memberikan hartanya, maka
pemberian tersebut tidak boleh lebih dari sepertiga harta itu. Sebab, dia
berada di kondisi yang sangat kritis. Sehingga hukum yang berlaku baginya
seperti yang berlaku bagi orang yang mengalami sakit yang menghawatirkan.
BACA JUGA KAIDAH LAINNYA : “Apa yang boleh dijual boleh juga di gadaikan” DAN Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya"
BACA JUGA KAIDAH LAINNYA : “Apa yang boleh dijual boleh juga di gadaikan” DAN Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya"
sumber:
[1] Teungku Muhammad
Hasbi Ash Shiddieqy, Pengantar Fiqih Muamalah (Semarang, PT pustaka
Rizki Putra, 2001), hlm. 27
[2]Gemala Dewi
dkk. Hukum Perikatan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.45
[3] Ibid., hlm.49
[4]Hasballah Thaib,
Hukum Aqad dalam Fiqih Islam dan Praktek di Bank Sistem Syariah (Medan,
Program Pasca Serjanana USU, 2005), hlm. 4
[5] Ibid., hlm,
8-14
[6]Gemala Dewi
dkk. Hukum Perikatan Islam Indonesia (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 60
[7]Abdullah Amrin,
Asuransi Syariah : Kelebihan Dan Kekurangannya di Tengah Asuransi
Konvensional (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2006), hlm. 60
[8] Adiwarman
Karim, Bank Islam; Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta, IIITI, 2002),
hlm. 5
[9]A.Djazuli, Kaidah-Kaidah
Fikih (Jakarta: Prenada Media Group,
2010), hlm. 135
[10]Abdul Karim
Zaidan, Al-Wajiz fi Syarhi Al-Qawa’id
Al-Fiqhiyyah fi Asy-Syari’ah Al-Islamiyyah, diterjemahkan Muhyiddin Mas
Rida,Al-Wajiz (Cet.1; Jakarta Timur: Pustaka Al-Kautsar,2008), hlm. 230.
[11]Ibid., hlm.
258-260.
[12] Syaikh
Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Asy-Syarhul Mumti’ Kitaabul Waqf wal Hibah
wal Washiyyah, diterjemahkan Abu Hudzaifah (Cet.1;Jakarta: Pustaka Imam
Asy-Syafi’I, 2008), hlm. 105-108
[13] Ibnu Mas’ud, Fiqih
Madzhzb Syafi’I Edisi Lengkap Muamalat, Munakahat, Jinayat (Cet.II;
Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 159-161
[14] Buku
KHES (Komplikasi Hukum Ekonomi Syariah)
[15] Ibid.,
167
[16] Ibid.,
169
[17] Ibid.,
hlm. 180
[18] Ibid.,
hlm. 192
Comments
Post a Comment