Skip to main content

kaidah qawaid fiqhiyyah : “Apa yang boleh dijual boleh juga di gadaikan”

مَاجَازَبَيْعُهُ جَازَرَهْنُهُ
“Apa yang boleh dijual boleh juga di gadaikan.”
Sudah barang tentu apa yang boleh dijual maka boleh juga digadaikan, akan tetapi tentu ada kecualiannya seperti manfaat barang boleh disewakan tetapi tidak boleeh deigadaikan Karena tidak bisa diserah terimakan.[1]
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak. Sebab, gadai merupakan perjanjian yang melibatkan harta sehingga perlu dimanifestasikan dalam bentuk pernyataan tersebut seperti halnya jual beli. Karenasetiap barang yang diperdagangkan boleh pula digadaikan dalam tanggungan hutangnya[2].Seperti dalam kaidah yang tersebut di atas
مَاجَازَبَيَعُه جَازَرَهْنُهُوَكُلُّ
Setiap  sesuatu yang diperbolehkan untuk dijual maka boleh digadaikan.
Pengertian Jual Beli
Secara terminilogi fiqh jual beli disebut dengan al-ba’i yang berarti menjual, mengganti, dan menukar suatu dengan suatu yang lain. Lafal al-ba’I terkadang dlam terminologi fiqh dipakai untu pengertian lawannya, yaitu al-syira’ yang berarti membeli. Dengan demikian al-ba’i mengandung arti menjual sekaligus membeli atau jual beli. Menurut Hanafiah al-ba’i mengandung arti secara definitif yaitu tukar menukar harta benda atau suatu yang dinginkan dengan sesuatu yang sepadan melalui cara tertentu dan bermanfaat. Adapun menurut malikiah, syafi'iyah dan hanabilah al-ba’i adalah tukar menukar harta dengan harta dalam bentuk pemindahan milik dan kepemilikan. Menurut Pasal 20 ayat 2 kompilasi hukum ekonomi syariah, ba’i adalah jual beli antara benda dengan benda atau pertukaran antara benda dengan uang.[3]
Pensyariatan Jual Beli
Artinya: Dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba  (QS. Al baqarah:275)
Kaum muslimin telah berijma’ akan bolehnya jual beli, dan hikmah juga mengharuskan adanya jual beli, Karena hajat manusia banyak bergantung dengan apa yang dimiliki oleh orang lain.[4]
Rukun jual beli
1.      Pelaku transaksi, yaitu penjual dan pembeli
2.      Objek transaksi, yaitu harga dan barang
3.      Akad transaksi, yaitu segala tindakan yang dilakukan oleh kedua belah pihak yang menunjukan mereka sedang melakukan transaksi, baik tindakan itu berbentuk kata-kata maupun tindakan
Syarat Sahnya jual beli
1.   Saling rela antara kedua belah pihak. Kerelaan antara kedua belah pihak untuk melakukan transaksi mutlak keabsahannya, berdasarkan firman Allah SWT
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.
2.      Pelaku aqad adalaha orang yang dibolehkan melakukan aqad, yaitu orang yang telah baliq dan berakal serta mengerti hokum. Maka aqad yang dilakukan anak dibawah umur dan rang gila tidak sah ecuali dengan seizing walinya.
3.      Harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya yaitu merupakan barang milik sendiri.
4.      Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan dalam agama, maka tidak boleh menjual barang yang haram
5.      Objek transaksi adalah barang yang bisa diserahterimakan
6.      Objek jual beli diketahui oleh kedua belah pihak saat akad. Maka tidak sah menjual barangyang tidak jelas
7.      Harga harus jelas saat transaksi.[5]

Pengertian Rahn (Gadai)
Rahn secara etimologis, berarti tsubut (tetap) dan dawam (kekal, terus menerus). Dikatakan ma’rahin artinya air yang diam (tenang). Ada yang mengatakan bahwa rahn adalah habs (menahan) berdasrakan firman Allah dalam surat al- mudatsir ayat 38:
Atinya: Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya
Maksudnya setiap diri itu tertahan, maka makna yang lebih dekat dengan makna yang pertama yakni tetap, Karena sesuatu yang tertahan itu bersifat tetap ditempatnya. Adapun rahn secara terminologis adalah menjadikan harta benda sabagai jaminan utang agar utang itu dilunasi (dikembalikan).
Menurut bahasa, gadai (rahn) berarti al-tsubut dan al-habs yaitu tetap, kekalatau penahanan.[6] Sedangkan gadai atau Rahn menurut syariah adalah penyerahan harta benda sebagai jaminan hutang, yang hak kepemilikannya dapat diambil alih ketika sulit untuk menebusnya.[7]
 Dasar Hukum Rahn
Rahn (gadai) hukumnya boleh berdasarkan dalil Al-quran, hadis dan ijma’:
1.       Dalil Al-Quran surat Al-baqarah ayat 283
Artinya:jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang.
2.      Hadist rwayat Bukhari Muslim dari ‘Aisyah r.a
اَنِّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلّم اشْتَرَى طَعَاماً من يَهُوْدِيًّ الى أجل ورهنه دِرْعاً مِنْ حَدِيْدٍ (رواه البخري و مسلم)
Artinya: bahwa rasulullah SAW pernah membeli makanan dengan pembayaran tempo dan menggadaikan baju perangnya.(HR. Bukhari dan Muslim)
3.      Dasar ijma’ bahwa diperbolehkan rahn (gadai) secara syariat.[8]
Rukun dan Syarat Rahn
Demi keabsahan suatu perjanjian gadai yang dilakukan, ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi yaitu:
1.      Ijab Qabul (sighat)
Hal ini dapat dilakukan baik dalam bentuk tertulis maupun lisan, asalkan di dalamnya terkandung maksud adanya perjanjian gadai di antara para pihak. Sebab, gadai merupakan perjanjian yang melibatkan harta sehingga perlu dimanifestasikan dalam bentuk pernyataan tersebut seperti halnya jual beli, karena gadai sendiri itu tak jauh berbeda dengan akad jual-beli
Jika ditarik kesimpulan dari kaidah diatas, maka secara tidak langsung ditemukan kesamaan hukum diantara kedua akad yang berbeda tersebut, yakni harus sama-sama menggunakan wazan sighat, yakni Ijab dan Qabul antara Rahin dan Murtahin.
2.      Orang yang bertransaksi (Aqid)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi orang-orang yang bertransaksi gadai yaitu Rahin (pemberi gadai) dan Murtahin (penerima gadai) adalah telah dewasa, berakal sehat, dan atas keinginan sendiri.
3.      Adanya barang yang digadaikan (Marhun)
Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk barang yang akan digadaikan oleh Rahin (pemberi gadai) adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat, milik Rahin  secara sah, jelas, tidak bersatu dengan harta lain, dikuasai oleh Rahin, dan harta yang tetap atau dapat dipindahkan. Dengan demikian barang-barang yang tidak dapat diperjual-belikan tidak dapat digadaikan.
4.      Hutang (Marhun Bih)
Menurut ulama Syafiiyah syarat sebuah hutang yang dapat dijadikan alas hak atas gadai adalah berupa hutang yang tetap dapat dimanfaatkan , hutang tersebut harus lazim pada waktu akad, hutang harus jelas dan diketahui oleh Rahin dan Murtahin.[9]
Syarat gadai-menggadai
Gadai ialah menjadikan suatu benda yang berupa harta dan ada harganya, sebagai jaminan hutang dan akan dijadikan pembayaran hutangnya jika hutang itu tidak dapat dibayar
a.       ijab qabul yakni tanda serah terima
b.      syarat harta yang digadaikan ialah benda yang sah dijual.
c.       syarat harta yang digadaikan dan yang menerima gadaian itu akhil baligh, dan tidak dilarang mempergunakan hartanya dan dilakukannya dengan kemauannya. Maka tidaklah diperbolehkan wali megadaikan barang milik anak kecil, misalnya anak yatim, harta benda milik orang gila dan sebagainya.
d.      tidak boleh merugikan orang yang menggadai, misalnya dengan perjanjian barangnya boleh dipakai oleh orang yang menerima gadai.
e.       tidak merugikan orang yang menerima gadai, misalnya gadai dengan perjanjian tidak boleh menjual benda yang digadaikan itu, setelah datang waktunya, sedang utang sudah sangat diperlukan bagi yang menerima gadai.[10]
Keterkaitan antara Jual Beli dan Rahn (Gadai)
Semua barang yang boleh diperdagangkan boleh pula digadaikan di dalam tanggungan hutangnya, apabila hutang telah tetap menjadi tanggungan orang yang berhutang. Orang yang menggadaikan barangnya boleh menarik kembali barangnya, selagi barangnya belum diterima oleh penerima penggadaian.
Mushannif dalam dalam kitab Fathul Qarib menerangkan tentang batasan barang yang telah digadaikan, dalam perkataanya bahwa bahwa tiap-tiap boleh (sah) dijual belikan, maka boleh pula digadaikannya dalam urusan beberapa utang, ketika benar-benar hutang-hutang tersebut telah tetap berada dalam tanggungannya.[11]
Dilihat dari rukun dan syarat jual beli maka hampir serupa dengan rukun dan syarat yang ada rahn (gadai). Shigat (ijab qabul) yang ada pada keduanya merupakan syarat sahnya kedua aqad tersebut, dimana keduanya harus tasarruf yaitu baligh, berakal, tidak idiot dan tidak paksa dalam transaksi. Kemudian dari segi ma’qud alaih (objek atau barang) dalam transaksi jual beli ataupun rahn adalah dapat diserahterimakan, bermanfaat, harta yang menjadi objek transaksi telah dimiliki sebelumnya yaitu merupakan barang milik sendiri, jelas barangnya tidak bersatu dengan harta lain dan syarat harta yang digadaikan ialah benda yang sah dijual.
Objek transaksi adalah barang yang dibolehkan dalam agama, maka tidak boleh menjual  atau menggadai barang yang haram atau dialarang dalam agama. Dan juga kedua belah pihak baik itu penjual dan pembeli maupun rahin dan marhun tidak boleh merugikan atau memudhratkan keduabelah pihak. Jika ditarik kesimpulan maka secara tidak langsung ditemukan kesamaan hukum diantara kedua akad yang berbeda tersebut, yakni harus sama-sama menggunakan wazan sighat, yakni ijab dan Qabul antara Rahin dan Murtahin maupun penjual dan pembeli
Hubungan kaidah (ما جاز بيعه جاز رهنه) dengan Kaidah Asasi
Kaidah ini dapat dikaitkan dengan kaidah asasi yang lima atau al-qawa’id al-khamsah yaitu kaidah yang mencakup semua aspek didalamnya baik itu aspek ibadah maupun muamalah. Seperti kita ketahui bahwa kaidah-kaidah fiqh itu memiliki ruang lingkup dan cakupan yang berbeda, dari luang lingkup yang paling luas dan cakupan yang paling banyak sampai pada kaidah-kaidah fiqh yang ruang lingkupnya sempit dan cakupannya sedikit[12]. Sehingga al- al-qawa’id al-khamsah ini bisa kita terapkan dam kaitkan dengan kaidah yang ruang lingkupnya khusus.
Pertama, kaidah (ماجاز بيعه جاز رهنه) yaitu apa yang boleh dijual boleh pula digadaikan berkaitan dengan al-qawa’id al-khamsah yaitu kaidahالضرر يزالyaitu kemudharatan harus dihilangkan.
Seperti yang dikatakan oleh Izzudin ibn Abd-Salam bahwa tujuan syariah adalah untuk menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan. Maka kaidah ini bertujuan untuk merealisasikan maqasyid al-syariah dengan menolak mafsadah, dengan cara menghilangkan kemudharatan atau setidaknya meringankannya. Kaidah meliputi lapangan yang luas didalam fiqh bahkan meliputi seluruh materi fiqh yang ada.[13]
Landasan hukum tentang kaidah ini yaitu:
Q.S. Al-Baqarah ayat 231
Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka.
Q.S. Ath-Thalaq ayat 6
Artiya: Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka.
Q.S. Al-maidah ayat 105
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; Tiadalah orang yang sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah mendapat petunjuk. hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, Maka Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Madjah
لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ (رواه ابن ماجه)
Tidak boleh memudharatkan dan tidak boleh dimudharatkan (HR. Ibnu Madjah dari Ibnu Mas’ud).[14]
Dengan demikian ada kesan kesimbangan atau keadilan dalam perilaku, serta secara moral menunjukkan mulianya akhlak karena tidak mau memudharatkan orang lain dan juga tidak mau dimudhratkan oleh orang lain, Karena pada dasarnya kemudharatan itu harus dihilangkan.
Hal ini berkaitan erat dengan kedua transaksi diatas yaitu jual beli dan rahn (gadai) dimana antara keduabelah pihak yang melakukan transaksi tidak boleh saling memudharatkan. Kemudharatan dalam kedua transaksi ini bisa berupa tidak saling ridhanya keduabelah pihak, barang yang menjadi objek transaksi tidak jelas, maupun terjadi penipuan. Oleh karena itu dalam melakukan kedua transaksi ini baik jual beli ataupun rahn (gadai) harus mengutamakan kemaslahatan dan menghilangkan kemudharatan.
kedua, kaidah (ما جاز بيعه جاز رهنه) bisa kita kaitkan dengan kaidah المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَيْسِرُ yaitu kesulitan iitu bisa mendatangkan kemudahan.
Qaidah ini merupakan dasar penting dari sumber syariah. Mayoritas dispensasi syar’i didasari oleh kadah ini. Al- Masyaqqah ditinjau dari segi Bahasa memiliki arti kesush payahan atau kesukaran. Dengan kata lain kata lain mereka tidak mapu melakukaan hal itu kecuali dengan mengalami kepayahan dan kesukaran pada dirinya. Termasuk diantara al masyaqqah adalah kesulitan, kepayahan, kesukaran, sempit dan berat. Al-masyaqqah yang bisa menyebabkan kemudahan disini adalah kesulitan yang bisa menghilangkan tuntutan syar’i. sedangkan maksud At-Taisir dalam qaidah ini secara bahasa adalah kemudahan atau kelenturan sebagaimana hadis اِنّ الّين يسرyaitu agama itu mudah, tidak memberatkan. Jadi dapat dipahami bahwa kesulitan dan kesukaran bisa menjadi sebab kemudahan[15]. Maksudnya adalah hukum-hukum yang dalam penerapannya menimbulkan kesulitan dan kesukaran bagi mukallaf, maka syariah meringankan sehingga mukallaf mampu melaksanakannya.
Landasan hukum kaidah ini[16]

"Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). karena itu, Barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, Maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan Barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur".
Hadist yang diriwayatkan oleh imam Al-Bukhari
يُسِرُّوا وَلاَتُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلاَتُنَفِّرُوا (رواه البخري)
Artinya: mudahkanlah mereka dan jangan kamu menyulitkan gembirakanlah mereka dan jangan menyebabkan mereka lari (HR. Al-Bukhari)
Kaidah Al-Masyaqqah dengan Al-Dharar terdapat kesamaan karena kedua-duanya harus dihilangkan demi untuk kmaslahatan hidup. Dalam penerapan dan contoh-contoh antara kaidah المَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَيْسِرُdengan kaidah sering memiliki kesamaan-kesamaan.[17]
Dengan demikian, kemudahan-kemudahan yang dibeikan oleh syar’I dengan diperbolehkannya transaksi hutang, tukar-menukar hutang (hiwalah), wasiat, akad salam, akad syirkah maupun akad gadai dan lain sebagainya. Kemudahan tersebut diberikan untuk mengantisipasi timbulnya kesulitan sekaligus untuk menraik kemudahan.[18]
Hal ini berkaitan erat dengan dengan transaksi gadai, dimana kemudahan tersebut diberikan untuk mengantisipasi timbulnya kesulitan, yaitu pada saat orang sedang dalam perjalanan dan melakukan muamalah tidak secara tunai maka dibolehkan melakukan gadai dengan dengan adanya barang tanggungan yang dipegang. Hal ini sesuia dengan firman Allah SWT surat Al-baqarah ayat 283
Artinya:jika kamu dalam perjalanan (dan bermu'amalah tidak secara tunai) sedang kamu tidak memperoleh seorang penulis, Maka hendaklah ada barang tanggungan yang dipegang (oleh yang berpiutang.
Jadi jelas disini bahwa kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan.
baca juga kaidah lainnya :"Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya" DAN "tidak sempurna akad tabaru' kecuali dengan penyerahan barang"
sumber :


[1] A. Djzuli, Kaidah-Kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm. 137
[2]Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqh Lengkap, (Semarang: PT. Karya Toha Putra), hlm.423 
[3]Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, (Jakarta: Kencana Praamedia Group,2013), hlm.101
[4] Abdul azhim,Panduan Fiqh Lengkap, (Bogor: Pustaka Ibnu Katsir, 2006,) hlm.1
[5]Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, hlm.103

[6]Wahbah zuhaili, Fiqih Imam Syafi’i Mengupas Masalah Fiqhiyah Berdasarkan Al-Qur’an Dan Hadits, (Jakarta: Almahira, 2012, Cet.2, Vol.2) hal.73
[7]Ibid, hlm. 73
[8]Mardani, Fiqh Ekonomi Syariah, hlm.289
[9]Muhamad Nawawi Al-jawiy, Quuth Al-Habib Al-Gharib Tausyekh ‘Ala Fath el-Qarib Al-Mujieb, (Jakarta: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2002) hal. 276
[10] Moh. Rifa’I, Ilmu Fiqh Lengkap, hlm.423 
[11] Abu Hazim Mubarok, Fiqh Idola Terjemahan Fatul Qarib, (Jawa Barat: Mukjizat, 2013), hlm.18
[12] A. Djzuli, kidah-kaidah fikih, hlm. 27
[13]Ibid, hlm.67
[14]Ibid, hlm. 69
[15] Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyah dalam Perspektif Fiqh, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, dengan Anglo Media, 2004), hlm. 83
[16]A. Djzuli, kidah-kaidah fikih, hlm. 59
[17] Ibid, hlm. 66
[18]Ahmad Sudirman Abbas, Qawaid Fiqhiyah dalam Perspektif Fiqh, hlm. 84

Comments

Popular posts from this blog

kaidah Qawaid Fiqhiyyah : "Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya"

  Kaidah Fiqh اَلْعِبْرَةُبِالْمَقَاصِدِوَالْمُسَمِّيَاتِ لاَبِالْأَلْفَاظِ وَالتَسْمِيَاتِ “Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya.” Kaidah ini memberi pengertian bahwa yang jadi patokan adalah maksud hakiki dari kata-kata yang diucapkan atau perbuatan yang dilakukan bukan redaksi ataupun penamaan yang digunakan. Dan dari kaidah ini,bercabanglah satu kaidah lain yang melengkapinya, yang disebutkan dalam Jurnal Al-Ahkam Al-Adliyyah, yakni kaidah: اَلْعِبْرَةُ فىِ اْلعُقُوْدِ بِالْمَقَاصِدِ وَالْمَعَانِي لَا بِالْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي “Yang dijadikan pegangan dalam transaksi (akad) adalah maksud dan pengertian bukan redaksi ataupun premis.” Makna Kaidah Dari kaidah ini dipahami bahwa saat transaksi dilangsungkan, yang menjadi patokan bukanlah redaksi yang digunakan kedua pihak yang melangsungkan transaksi, melainkan maksud hakiki mereka dari kata-kata yang diucapkan dalam transaksi tersebut. Sebab, maksud hakikinya adalah penge

Departementalisasi Organsasi

Pengertian Departementalisasi Organsasi Departementalisasi adalah proses penentuan cara bagaimana kegiatan yang dikelompokkan. Beberapa bentuk departementalisasi sebagai berikut : •           Fungsi •           Produk atau jasa •           Wilayah •           Langganan •           Proses atau peralatan •           Waktu •           Pelayanan •           Alpa – numeral •           Proyek atau matriks 1.       Departementalisasi Fungsional               Departentalisasi fungsional mengelompokkan fungsi – fungsi yang sama atau kegiatan – kegiatan sejenis untuk membentuk suatu satuan organisasi. Organisasi fungsional ini barangkali merupakan bentuk yang paling umum dan bentuk dasar departementalisasi. kebaikan utama pendekatan fungsional adalah bahwa pendekatan ini menjaga kekuasaan dan kedudukan fungsi- funsi utama, menciptakan efisiensi melalui spesialisasi, memusatkan keahlian organisasi dan memungkinkan pegawai manajemen kepuncak lebih ketat terhadap fungs

kaidah qawaid fiqhiyyah :"Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang"

لاَ يَتِمُّ التَّبَرُّعُ إِلاَّ بِالقَبْضِ   “ Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”  berbicara tentang kaidah ini maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu, yaitu : Pengertian Akad Akad adalah salah satu sebab dari yang ditetapkan syara’ yang karenanya timbullah beberapa hukum. Dengan memperhatikan takrit akad, dapatlah dikatakan bahwa akad itu adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan persetujuan masing-masing. [1] Akad termasuk salah satu perbuatan hukum (tasharruf) dalam hukum Islam. Dalam terminology fiqih akad diartikan sebagai pertalian antara ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh terhadap objek perikatan. Sesuai kehendak syariat maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sesuai dengan kehendak  syariat. [2] Rukun merupakan hal yang harus dipenuhi agar suatu per