Tantangan
Pengembangan Sukuk di Indonesia
Dalam penerbitan sukuk di samping peluang juga ada tantangan dan masalah yang
akan dihadapi, di antara tantangan dan masalah yang kita hadapi sekarang ini
adalah, tidak ada standarisasi fatwa mengenai struktur produk-produk instrumen
syariah dari masing-masing negara dan AAOIFI standard belum digunakan sebagai
acuanboleh semua negara yang penduduknya mayoritas Muslim.
Hal ini berdampak terhadap keengganan satu negara, untuk berinvestasi melalui
sukuk di negara lain, seperti keengganan beberapa negara di Timur Tengah untuk
melakukan investasi melalui sukuk di Malaysia, dengan alasan ada beberapa sukuk
di Malaysia yang masih menggunakan akad ba’i al-‘Înah yang menurut pandangan
mereka tidak diperbolehkan dalam sistem investasi syariah, hal ini terjadi juga
di Indonesia yang mana ada beberapa emiten yang masih menggunakan akad ba’i
al-‘Înah, sehingga investor-investor asing khususnya dari kawasan Timur Tengah
enggan untuk berinvestasi dalam bentuk sukuk di Indonesia. Masalah yang lain
adalah, manajemen risiko atau pengelolaan risiko, seperti adanya risiko
operasional dan risiko ketidakpatuhan pada prinsip syari’ah atau shariah
compliance risk.
Begitu juga perbedaan pada proses tehnik dan konsep penyaringan (stock
screening) instrumen investasi syari’ah yang berbeda di setiap negara, sehingga
menyulitkan untuk menyatukan visi dan misi untuk suatu produk instrumen
investasi syari’ah agar dapat di terima di semua negara. Bukan hanya itu saja
yang menjadi tantangan dan permasalahan sukuk ke depan, masih banyak lagi
tantangan yang harus kita hadapi dalam mengembangkan sukuk terutama di
Indonesia, Masih kurangnya pemahaman masyarakat akan keberadaan sukuk,
merupakan permasalahan klasik yang bukan hanya terjadi pada sukuk saja,
akan tetapi terjadi juga pada instrumen-instrumen investasi lainnya seperti
saham syari’ah, reksadana syariah, asuransi syariah, pegadaian syari’ah dan
lain sebagainya, terutama sistem bagi hasil yang hanya dikenal oleh kalangan
pemodal saja.
Ketidak pahaman masyarakat terutama investor terhadap sukuk syari’ah,
menimbulkan kecendrungan masyarakat (investor) dalam berinvestasi masih
berorientasi pada keuntungan (return) yang ditawarkan, sehingga mereka sering
membandingkan dengan keuntungan yang ditawarkan obligasi konvensional, atau
instrumen lainnya yang lebih menguntungkan. Hal ini diperparah dengan adanya
ketidakjelasan dalam aspek operasional, belum ada standar baku untuk
operasional dan ketentuan akuntansinya, hal ini tentu menyebabkan kegamangan
praktisi untuk mendukung pengembangan instrumen yang relatif baru ini. Selain
itu ketentuan fiqh versus hukum formal yang seringkali tidak sejalan.
Lahirnya UU SBSN memberi harapan kepada pelaku sukuk untuk mengembangkan sukuk
di Indonesia, akan tetapi harapan ini hanya diamini oleh beberapa kalangan saja
terutama pemerintah. Hal ini disebabkan oleh ketidakmampuan Undang-undang untuk
menjangkau pengaturan sukuk yang diterbitkan oleh Pemerintah Daerah dan
korporasi. Sehingga negara terkesan hanya mementingkan dirinya sendiri, tanpa
mengakomodir pelaku-pelaku sukuk lainnya terutama korporasi. UU sukuk yang ada
tidak mengatur mengenai mekanisme penyelesaian sengketa antar pihak dalam
penerbitan dan/atau pengelolaan sukuk. Pada umumnya pelaku ekonomi syari’ah tak
terkecuali sukuk telah terbiasa mempergunakan bentuk penyelesaian sengketa non
litigasi, seperti negosiasi, mediasi, dan arbitrasi. Hampir dalam semua akad
sukuk mencantumkan klausul bahwa jika terjadi perselisihan akan menyelesaikannya
secara musyawarah-mufakat dan berikutnya ke Basyarnas.
UU sukuk yang ada memiliki potensi multitafsir dan kurang proporsional, seperti
masalah akad yang tidak bisa diperjualbelikan yang tercantum pada pasal 2 ayat
2. Penjelasan UU SBSN tidak merinci akad mana yang karena sifatnya tidak bisa
diperdagangkan. Hal ini cukup beralasan karena pada penjelasan pasal 3 huruf f
dicontohkan beberapa bentuk kombinasi akad, sehingga kurang proporsional bila
pasal yang lain yang lebih signifikan isi dan implikasinya tidak dijelaskan.
Dalam konteks sosial, UU SBSN sangat inklusif terhadap segmen pasar. Investor
yang membeli Sukuk Negara perdana lebih didominasi oleh lembaga konvensional.
Tercatat dari total sukuk yang dijual pemerintah Rp. 4,7 triliun, 90 persen
investornya berasal dari lembaga keuangan konvensional. Di samping sebagai
indikator konsepsi Islam dapat diterima oleh semua kalangan karena faktor
profitabilitas dan diversifikasi yang dominan, hal ini menegaskan kurangnya
partisipasi dan kontribusi lembaga-lembaga keuangan syariah di sektor moneter.
Hal ini diantaranya disebabkan adanya prudentalis, kurangnya likuiditas dan
kreatifitas.
Comments
Post a Comment