Pengertian ‘Ariyah
Lafazh ‘Ariyah
dengan di tasydid huruf ya’-nya menurut qaul ashah itu diambil dari lafazh (عار) “aara” yang artinya pergi ketika ia telah
pergi.sedangkan hakikatnya menurut arti syara’, itu membolehkan atau
mempersialahkan mengambil manfaat barang yang halal untuk diambil manfaatnya
dari orang yang ahli bersedekah karena Allah beserta utuhnya barang keadaan
tersebut, agar kelak dekembalikan lagi kepada orang yang bersedekah karena Alla
itu.[1]
Menurut
etimologis Al ‘Ariyah berarti sesuatu yang dipinjam, pergi, dan kembali pulang.
Adapun menurut terminologis fiqh ada dua definisi yang berbeda pertama ulama
Maliki dan Hanafi mendefiniskannya dengan pemilikan manfaat sesuatu barang
tanpa ganti rugi. Kedua ulama Syafi’i dan Haambali mendefinisikan dengan
kebolehan manfaat barang orang lain tanpa ganti rugi. Kedua deffinisi ini membawa
akibat hukum yang berbeda definisi pertama membolehkan peminjam meminjamkan
barang yang ia pinjam kepada pihak ketiga sedangkan definisi kedua tidak
membolehkannya.[2]
Ariyyah atau ‘Ariyah diartikan dalam pengertian etimologi
(lughat) dengan beberapa macam makna, yaitu:
1. ‘Ariyah
adalah nama untuk barang yang dipinjam oleh umat manusia secara bergiliran
antara mereka. Perkataan itu diambil dari masdar at ta’wur dengan memakai
artinya perkataan at tadaawul.
2. ‘Ariyah
adalah nama barang yang dituju oleh orang yang meminjam. Jadi perkataan itu
diambil dari akar kata ‘arahu-ya’ruuhu-‘urwan.
3. ‘Ariyah
adalah nama barang yang pergi dan datang secara cepat. Diambil dari akar kata
‘aara yang artinya pergi dan datang dengan secara cepat.
Sedangkan pengertiannya
dalam terminologi Ulama Fiqh, maka dalam hal ini terdapat perincian beberapa
madzhab :
· Madzhab Maliki (Al
Malikiyah)
‘Ariyah
didefinisikan lafazhnya berbentuk masdar dan itu merupakan nama bagi sesuatu
yang dipinjam. Maksudnya adalah memberikan hak memiliki manfaat yang
sifatnya temporer (sementara waktu) dengan tanpa ongkos. Contoh:
meminjamkan/memberikan hak memiliki manfaatnya motor (suatu benda) ditentukan
waktunya dengan tanpa ongkos
· Madzhab Hanafi (Al
Hanafiyah)
‘Ariyah adalah
memberikan hak memiliki manfaat secara cuma-cuma. Sebagian ulama mengatakan
bahwa ‘Ariyah adalah “membolehkan” bukan “memberikan hak milik”. Pendapat
ini tertolak dari dua segi, yaitu:
a. Bahwa
perjanjian untuk meminjamkan itu dianggap sah dengan ucapan memberikan hak
milik, tetapi tidak sah dengan ucapan membolehkan kecuali dengan tujuan
meminjam pengertian memberikan hak milik.
b. Bahwasannya
orang yang meminjam boleh meminjamkan sesuatu yang ia pinjam kepada orang lain
jika sesuatu tersebut tidak akan berbeda penggunaannya dengan perbedaan orang
yang menggunakan baik dari segi kekuatan atau kelemahannya. Seandainya
meminjamkan itu hanya membolehkan, maka orang yang meminjam tidak sah
meminjamkan kepada orang lain.
· Madzhab Syafi’i (Asy
Syafi’iyyah)
Perjanjian
meminjamkan ialah membolehkan mengambil manfaat dari orang yang mempunyai
keahlian melakukan derma dengan barang yang halal diambil manfaatnya dalam
keadaan barangnya masih tetap utuh untuk dikembalikan kepada orang yang melakukan
kesukarelaan. Misalnya adalah Ani meminjamkan buku fiqh (halal diambil
manfaatnya) kepada Lina (orang yang berkeahlian melakukan amal sukarela), maka
sahlah ani untuk meminjamkan buku fiqh tersebut kepada Lina.
·
Madzhab Hambali
(Al Hanabilah)
‘Ariyah adalah
barang yang dipinjamkan, yaitu barang yang diambil dari pemiliknya atau pemilik
manfaatnya untuk diambil manfaatnya pada suatu masa tertentu atau secara mutlak
dengan tanpa imbalan ongkos.
Kata ‘ariyah secara bahasa berarti pinjaman. Istilah ‘ariyah
merupakan nama atas sesuati yang dipinjamkan. Sedangkan menurut terminologi,
pengertian ‘ariyah adalah Kebolehan memanfaatkan benda tanpa memberikan suatu
imbalan.[3]
Dasar Hukum Ariyah
Adapun dasar hukum diperbolehkannya bahkan disunnahkannya ‘ariyah
adalah ayat-ayat Al-Qur’an dan Hadis-hadis sebagai berikut:
dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan
bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah Amat berat siksa-Nya.[4]
العَارِيَةُ
مُؤَذَاةٌ
“Barang peminjaman adalah benda yang wajib
dikembalikan.” (H.R. Abu Daud)
عَن
ابِي هُريرتَ رضيالله عنه قل:قل رسول الله صلى الله عليه وسلم : ادالاْمانة الى من
أتمَنَكَ ول تخنْ منْ خَانَكَ
(روه
ا اتر مز ي و ا بو دود)
Artinya : dari abu hurairah RA bahwasanyaRasulullah SAW bersabda
tunaikankan atau kembalikanlah barang amanat itu kepada orang yang telah
memberiakan amanat kepadamu, dan janganlah engkau menyalahi janji (berkhianant)
walaupun kepada orang yang pernah menyalahi janji kepadamu (HR. aAbu daud dan
Tumuzdhi)
Hukumnya
meminjamkan suatu hukumnya sunnah, terkadang menjadi wajib seperti meminjamkan
sampan untuk menyelamatkan orang yan sedang hanyut tenggelam dan terkadang
haram meminjamkan seperti meminjamkan rumah untuk tempat maksiat.[5]
Rukun dan Syarat Ariyah
Adapun yang menjadi rukun dan syarat ariyah adalah sebagai berikut
:
1. Adanya pihak
yang meeminjamkan dengan syarat orang yang berakal, sehat serta mengerti akad,
maksud dan tujuan dari perbuatan yang ia lakukan
2.Adanya pihak
yang dipi njamkan, dengan syarat orang
yang berakal, sehat serta mengerti akad, maksud dan tujuan dari perbuatan yang
ia lakukan. Ia berhak atas barang yang dipinjamkan, barang itu dapat
dimanfaatkan sesuai syariat islam.
3. Adanya objek
yang dipinjamkan, dengan syarat :
a.
Harta yang
dipinjamkan harus milik atau harta yang berada dibawah kekuasaan pihak yang
meminjamkan
b.
Objek yang
dipinjamkan adalah harus sesuatu yang bisa dimanfaatkan.
4.
Terjadi akad
pinjam-meminjam (ijab qabul)
Berakhirnya Akad Ariyah
Ariyah berakhir disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut :
1.
Salah satu
pihak menjadi tidak lagi cakap hokum untuk melakukan aqad ariyah.
2.
Diketahui bahwa
salah satu pihak atau kedua pihak tidak tasharruf.
3.
Adanya penipuan
terhadap keadaan barang
4.
Barang
dikendalikan oleh yang meminjam[6]
Macam-macam ‘Ariyah
Ditinjau dari
kewenangannya, akad pinjaman meminjam (‘ariyah) pada umumnya dapat dibedakan
menjadi dua macam :
1.
‘Ariyah
muqayyadah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat terikat dengan
batasan tertentu. Misalnya peminjaman barang yang dibatasi pada tempat dan
jangaka waktu tertentu. Dengan demikian, jika pemilik barang mensyaratkan
pembatasan tersebut, berarti tidak ada pilihan lain bagi pihak peminjam kecuali
mentaatinya. ‘Ariyah ini biasanya berlaku pada objek yang berharta, sehingga
untuk mengadakan pinjam-meminjam memerlukan adanya syarat tertentu.
Pembatasan bisa tidak berlaku apabila
menyebabkan musta’ir tidak dapat mengambil manfaat karena adanya
syarat keterbatasan tersebut. Dengan demikian dibolehkan untuk melanggar
batasan tersebut apabila terdapat kesulitan untuk memanfaatkannya. Jika ada
perbedaan pendapat antara mu’ir danmusta’ir tentang lamanya
waktu meminjam, berat/nilai barang, tempat dan jenis barang maka pendapat yang
harus dimenangkan adalah pendapat mu’ir karena dialah pemberi izin untuk mengambil
manfaat barang pinjaman tersebut sesuai dengan keinginannya.
2.
’Ariyah
mutlaqah, yaitu bentuk pinjam meminjam barang yang bersifat tidak
dibatasi. Melalui akad ‘ariyah ini, peminjam diberi kebebasan untuk
memanfaatkan barang pinjaman, meskipun tanpa ada pembatasan tertentu dari
pemiliknya. Biasanya ketika ada pihak yang membutuhkan pinjaman, pemilik barang
sama sekali tidak memberikan syarat tertentu terkait obyek yang akan
dipinjamkan.Contohnya seorang meminjamkan kendaraan, namun dalam
akad tidak disebutkan hal-hal yang berkaitan dengan penggunaan
kendaraan tersebut misalnyawaktu dan tempat mengedarainya.
Namun demikian harus disesuaikan dengan kebiasaan yang
berlaku di masyarakat. Tidak boleh menggunakan kendaraan tersebut siang malam
tanpa henti. Jika penggunaannya tidak sesuai dengan kebiasaan dan barang
pinjaman rusak maka mu’ir harus bertanggung jawab.
Pembayaran Pinjaman
Setiap orang yang
meminjam sesuatu kepada orang lain, berarti peminjam memiliki utang kepada yang
berpiutang (mu’ir). Setiap utang adalah wajib dibayar sehingga berdosalah orang
yang tidak mau membayar utang, bahkan melalaikan pembayaran utang juga termasuk
perbuatan aniaya. Rasulullah SAW bersabda :
مطل الغنني
ظلم (روه البخريي و مسلم)
“Orang
kaya yang melalaikan kewajiban membayar utang adalah zalim atau berbuat
aniaya”. (H.R. Bukhari dan Muslim)
Adapun melebihkan
bayaran dari sejumlah pinjaman itu diperbolehkan, asal saja kelebihan itu
merupakan kemauan dari yang berutang semata. Hal ini menjadi nilai kebaikan
bagi yang membayar utang. Rasulullah SAW bersabda :
فانّ من
خيركم أحسنكم قضاء (روه البخريي و مسلم)
“Sesungguhnya diantara
orang yang terbaik diantara kamu ialah orang yang sebaik-baiknya dalam membayar
utang”. (H.R. Bukhari dan Muslim)[7]
Meminjam pinjaman dan Menyewakan
Abu Hanifah dan
Malik berpendapat bahwa pinjaman boleh meminjamkan benda-benda pinjaman kepada
orang lain. Sekalipun pemiliknya belum mengizinkan jika penggunanya untuk
hal-hal yang tidak berlainan dengan tujuan pemakaian pinjaman. Menurut Mazhab
Hanbali, peminjam boleh memanfaatkan barang pinjaman atau siapa saja yang
menggantikan setatusnya selama peminjaman berlangsung, kecuali jika barang
tersebut disewakan. Haram hukumnya menurut Hanbaliyah menyewakan barang
pinjaman tanpa seiring pemilik barang. Jika peminjam suatu benda meminjamkan
benda pinjaman tersebut kepada orang lain, kemudian rusak ditangan kedua, maka
pemilik berhak meminta jaminan kepada salah seorang diantara keduanya. Dalam
keadaan seperti ini, lebih baik barang meminta jaminan kepada pihak kedua
karena dialah yang memegang ketika barang itu rusak.
Tanggung jawab Peminjam
Bila peminjam telah
memegang barang-barang pinjaman, kemudian barang tersebut rusak, ia
berkewajiban menjaminnya kalau disebabkan karena kelalaian, contohnya pemakaian
yang berlebihan. Demikian menurut Ibnu Abbas, Aisyah, Abu Hurairah, Syafi’I dan Ishaq dalam
hadits yang diriwayatkan oleh Samurah, Rasulullah Saw bersabda:
على الييد
ماأخذت حتي تؤدّي
“Pemegang berkewajiban menjaga apa yang ia
terima, hingga ia mengembalikannya”.
Hanafiyah dan Malikiyah
berpendapat bahwa peminjam tidak berkewajiban menjamin barang pinjamannya
kecuali karena tindakannya yang berlebihan (lalai). Rasulullah Saw bersabda
:
ليس على
المستعير غير المغلّ ضمانولاالمستودع غير المغلّ ضضمان (اخرجه الدارقطنى)
“Peminjam yang
tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan, orang yang dititipi
yang tidak berkhianat tidak berkewajiban mengganti kerusakan”. (HR. Daruquthni)
Jadi, Hukum
atas kerusakan barang tergantung pada akadnya yaitu amanah dan dhamanah. Apabila
barang yang dipinjam itu rusak, selama dimanfaatkan sebagaimana fungsinya, si
peminjam tidak diharuskan mengganti, Akan tetapi kalau kerusakan barang yang
dipinjam akibat dari pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka
wajib menggantinya.
Sumber :
[1]
Abu Hazim Mubarok, figh idola
terjemah Fathul Qarib ( Jawa Barat : Mukjizat, 2013) hlm. 46
[2]
Mardani, fiqh ekonomi syariah ( Jakarta :
prenadamedia group, 2013) hlm. 32
[3]
Abdul RahmanGhazalyDkk, FiqihMuamalah, (Jakarta :Kencana, 2010), hlm 247
[4]
Hendi Suhendi, fiqh muamalah,
(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2013)
hlm 93
[5]
Rifa’I Muhammad, Fiqh Islam,
(Semarang : Karya Toha Putra) hlm 426
[7]
Ibid hlm 331
Comments
Post a Comment