A.
Konsep
Maqasid al-Syari’ah
Sebagai sumber uatam agama Islam, Al-Qur’an mengandung
berbagai ajaran. Ulama membagi kandungan al-Qur’an dalam tiga bagian besar,
yaitu aqidah, akhlak, dan syariah. Aqidah berkaitan dengan dasar-dasar
keimanan, akhlak berkaitan dengan etika, dan syari’ah berkaitan dengan berbagai
aspek hukum yang muncul dari aqwal (perkataan) dan af’al (perbuatan). Kelompok
terakhir syariah, dalam sistematika hukum islam, dibagi dalam dua hal, yakni ibadah
(habl min Allah) dan muammalah ( habl min al-nas).[1]
Al-Quran
tidak memuat berbagai aturan yang terperinci tentang ibadah dan muammalah. Ia
hanya mengandungh dasar-dasar atau prinsip-prinsip ini, Nabi Muhammad Saw. menjelaskan
melalui berbagai hadisnya. Kedua sumber inilah yang kemudian dijadikan pijakan
ulama dalam mengembangkan hukum Islam., terutama di bidang muammalah. Dalam
kerangka ini, Al-Syatibi mengemukakan konsep maqasid syari’ah.
Secara
bahasa, maqasid syari’ah terdiri dari dua kata, yakni maqasid dan syari’ah.
Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan, sedangkan al-syari’ah berarti jalan
menuju sumber air, dapat pula dikatakan sebagai jalan ke arah sumber pokok
kehidupan.[2]
Menurut istilah Al-Syatibi menyatakan :
“Sesungguhnya
syari’ah bertujuan untuk mewujudkan kemslahatan manusia di dunia dan di
akhirat.”[3]
Dari pengertian tersebut, dapat dikatakan bahwa tujuan
syari’ah menurut Al-Syatibi adlah kemaslahatan umat manusia. Lebih jauh, ia
mengatakan bahwa tidak satu pun hukum Allah Swt. yang tidak mempunyai tujuan
yang sama dengan membebankan sesuatu yang tidak dapat dilaksanakan.[4]
Kemaslahatan, dalam hal ini, diartikan sebagai segala sesuatu yang menyangkut
rezeki manusia, pemenuhan penghidupan manusia, dan perolehan apa-apa yang
dituntut oleh kualitas-kualitas emosional dan intelektualnya, dalam pengertian
yang mutlak.[5]
Dengan demikian, kewajiban-kewajiban dalam syari’ah
menyangkut perlindungan maqasid syari’ah yang ada pada gilirannya bertujuan
melindungi kemaslahatan manusia. Al-Syatibi menjelaskan bahwa syariah berurusan
dengan perlindungan maslahih, baik dengan cara yang positif, seperti demi
menjaga eksistensi mashlahih, syariah mengambil berbagai tindakan untuk
menunjang landasan-landasan mashlahih maupun dengan cara preventif, seperti
syariah mengambil berbagai tindakan untuk melenyapkan unsur apapun yang secara
aktual atau potensial merusak mashlahih.[6]
1.
Pembagian
Maqashid al-Syari’ah
Menurut Al-syatibi,
kemaslahatan dapat terealisasikan apabila lima unsur pokok kehidupan manusia
dapat diwujudkan dan dipelihara, yaitu agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta.
Dalam kerangka ini, ia membagi maqashid menjadi
tiga tingkatan, yaitu dharuriyat,
hajiyat, dan tahsiniat.[7]
a.
Dharuriyat
Jenis maqashid ini merupakan kemestian dan
landasan dalam menegakkan kesejahteraan manusia di dunia dan di akhirat yang
mencakup pemeliharaan lima unsur pokok dalam kehidupan manusia, yakni agama, jiwa, akal, keturunan, dan
harta. Pengabaian terhdap kelima unsur pokok tersebut akan menimbulkan
kerusakan di muka bumi serta kerugian yang nyata di akhirat kelak. Pemeliharaan
terhadap agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta dapat dilakukan dengan cara
memelihara eksistensi kelima unsure pokok tersebut dalam kehidupan manusia dan
melindunginya dari berbagai hal yang dapat merusak. Sebagai contoh, penunaian
rukun islam, pelaksanaan kehidupan manusiawi serta larangan mencuri
masing-masing merupakan salah satu bentuk pemeliharaan eksistensi agama dan
jiwa serta perlindungan terhadap eksistensi harta.
b.
Hajiyat
Jenis maqasid ini
dimaksudkan untuk memudahkan kehidupan, menghilangkan kesulitan atau menjadikan
pemeliharaan yang lebih baik terhadap lima unsure pokok kehidupan manusia.
Contoh jenis maqasid ini antara lain mencakup kebolehan untuk melaksanakan akad
mudharabah, musaqat, muzara’ah dan bai salam, serta berbagai aktivitas ekonomi
lainnya yang bertujuan untuk memudahkan kehidupan atau menghilangkan kesulitan
manusia di dunia.
c.
Tahsiniyah
Tujuan jenis
maqasid yang ketiga ini adalah agar manusia dapat melakukan yang terbaik untuk
menyempurnakan lima unsure pokok kehidupan manusia. Ia tidak dimaksudkan untuk
menghilangkan atau mengurangi berbagai kesulitan, tetapi hanya bertindak
sebagai pelengkap, penerang dan penghias kehidupan manusia. Contoh jenis
maqasid ini antara lain mencakup kehalusan dalam berbicara dan bertindak serta
pengembangan kualitas produksi dan hasil pekerjaan.
2.
Kolerasi
Antara Dharuriyah, Hajiyah, dan Tahsiniyyah
Dari hasil penelaahan secara mendalam, Al-Syatibi
menyimpulkan kolerasi antara dharuriyat, hajiyat dan tahsiniyat sebagai
berikut:[8]
a.
Maqasid dharuriyat
merupakan dasar bagi maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat.
b.
Kerusakan pada
maqasid dharuriyat akan membawa kerusakan pula pada maqasid hajiyat dan maqasid
tahsiniyat.
c.
Sebaliknya,
kerusakan pada maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat tidak dapat merusak
maqasid dharuriyat.
d.
Kerusakan pada
maqasid hajiyat dan maqasid tahsiniyat yang bersifat absolute terkadang dapat
merusak maqasid dharuriyah.
e.
Pemeliharaan
maqasid ahiyat dan tahsiniyat diperlukan demi pemeliharaan maqasid dharuriyat
secara tepat.
Dengan demikian, apabila dianalisa lebih jauh, daam usaha
mencapai pemeliharaan lima unsur pokok secara sempurna, ketiga maqasid tersebut
tidak bias dipisahkan. Tampaknya, bagi al-Syatibi, tingkat hajiyat merupakan
penyempurna tingkat dharuriyat, tingkat tahsiniyat merupakan penyempurna
tingkat hajiyat, sedangkan tingkat dharuriyat menjadi pokok hajiyat dan
tahsiniyat.
Pengklasifikasian
yang dilakukan Al-Syatibi tersebut menunjukkan betapa pentingnya pemeliharaan
lima unsur pokok itu dalam kehidupan manusia. Di samping itu pengklasifikasian
itu juga mengacu pada pengembangan dan dinamika hukum yang diciptakan oleh
Allah Swt. dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan manusia.[9]
Berkenaan dengan
hal tersebut, Mustafa Anas Zarqa menjelaskan bahwa tidak terwujudnya aspek
dharuriyat dapat merusak kehidupan manusia dunia dan akhirat secara
keseluruhan. Pengabaian terhadap aspek hajiyat tidak sampaia merusak keberadaan
lima unsur pokok, tetapi hanya membawa kesulitan bagi manusia sebagai mukallaf
dalm merealisasikannya. Adapun pengabaian terhadap aspek tahsiniyat
mengakibatkan upaya pemeliharaan lima unsur pokok tidak sempurna.[10]
Lebih jauh ia menyatakan bahwa segala aktivitas atau sesuatu yang bersifat
tahsiniyat harus dikesampingkan jika bertentangan dengan maqasid yang lebih
tinggi (dharuriyat dan hajiyat).[11]
B.
Beberapa
Pandangan Al-Syatibi di Bidang Ekonomi
1.
Objek
Kepemilikan
Pada dasarnya,
Al-Syatibi mengakui hak milik individu. Namun ia menolak kepemilikan individu
terhadap setiap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak. Ia
menegaskan bahwa air bukanlah objek kepemilikan dan penggunaannya tidak bisa
dimiliki oleh seseorang pun. Dalam hal ini, ia membedakan dua macam air, yaitu:
air yang tidak dapat dijadikan objek kepemilikan, seperti air sungai dan oase;
dan air yang bisa dijadikan sebagai objek kepemilikan, seperti air yang dibeli
atau termasuk dari sebidang tanah milik individu. Lebih jauh, ia menyatakan
bahwa tidak ada hak kepemilikan yang dapat diklaim terhadapa sungai karena
adanya pembangunan dam.[12]
2.
Pajak
Dalam pandangan
al-Syatibi, pemungutan pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah
(kepentingan umum). Dengan mengutip pendapat para pendahulunya, seperti
Al-Ghazali dan Ibnu Farra’, ia menyatakan bahwa pemeliharaan kepentingan umum
secara essensial adalah tanggung jawab masyarakat. Dalam kondisi tidak mampu
melaksanakan tanggung jawab ini, masyarakat bisa mengalihkannya kepada Baitul
Mal serta menyumbangkan kekayaan mereka sendiri untuk hal tersebut. Oleh karena
itu, pemerintah dapat mengenakan pajak-pajak baru terhadap rakyatnya, sekalipun
pajak itu tidak pernah dikenal dalam sejarah Islam.[13]
C.
Wawasan
Modern Teori Al-Syatibi
Dari pemaparan
konsep maqasid al-syariah di atas, terlihat bahwa syariah menginginkan setiap
individu memperhatikan kesejahteraan mereka. Al-Syatibi menggunakan istliah
maslahah untuk menggambarkan tujuan syari’ah ini. Dengan kata lain, manusia
senantiasa dituntut untuk mencari kemaslahatan. Aktivitas produksi, konsumsi
dan pertukaran yang menyertakan kemaslahatan seperti didefenisikan syari’ah
harus diikuti sebagai kewajiban agama untuk memperoleh kebaikan di dunia dan
akhirat. Dengan demikian, seluruh aktivitas ekonomi yang mengandung
kemaslahatan bagi umat manusia disebut sebagai kebutuhan (needs).[14]
Pemenuhan kebutuhan
dalam pengertian tersebut adalah tujuan aktivitas ekonomi, dan pencarian atas
tujuan ini adalah kewajiban agama. Dengan kata lain, manusia berkewajiban untuk
memecahkan berbagai permasalhan ekonominya. Oleh karena itu, problematika
ekonomi manusia dalam perspektif islam adalah pemenuha kebutuhan (fulfillment
needs) dengan sumber daya alam yang tersedia.
Bila ditela’ah dari
sudut pandang ilmu manajemen kontemporer, konsep maqasid syariah mempunyai
relevansi yang begitu erat dengan konsep motivasi. Seperti yang telah dikenal,
konsep motivasi lahir seiring dengan persoalan mengapa seseorang berperilaku.
Motivasi itu sendiri didefenisikan sebagai seluruh kondisi usaha keras yang
timbul dari dalam diri manusia yang digambarkan dengan keinginan, hasrat,
dorongan dan sebagainya.[15]
Bila dikaitkan dengan konsep maqasid syariah, jelas bahwa dalam pandangan
islam, motivasi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi adalah untuk memenuhi
kebutuhannya dalam arti mempeoleh kemaslahatan hidup dunia dan akhirat.
Kebutuhan yang
belum terpenuhi merupakan kunci utama dalam suatu proses motivasi. Seorang
imdividu akan terdorong untuk berperilaku bila terdapat suatu kekurangan dalam
dirinya, baik secara psikis dan psikologi. Motivasi itu sendiri meliputi usaha,
ketekunan dan tujuan.[16]
Menurut Maslow,
apabila seluruh kebutuhan seseorang belum terpenuhi pada waktu yang bersamaan,
pemenuhan yang paling mendasar merupakan hal yang menjadi prioritas. Dengan
kata lain, seorang individu akan beralih untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
lebih tinggi jika kebutuhan dasarnya telah terpenuhi. Lebih jauh, berdasarkan
konsep hierarchy of needs, ia berpendapat bahwa garis herarkis kebutuhan
manusia berdasarkan skala prioritasnya terdiri dari:[17]
1.
Kebutuhan Fisiologi
(Phisicological Needs), mencakup kebutuhan dasar manusia, seperti makan minum.
Jika belum terpenuhi, kebutuhan dasar ini akan menjadi prioritas manusia dan
mengenyampingkan seluruh kebutuhan hidup lainnya.
2.
Kebutuhan Keamanan
(Safety Needs), mencakup kebutuhan perlindungan terhadap gangguan fisik serta
kesehatan krisis ekonomi.
3.
Kebutuhan Sosial
(Social Needs), mencakup kebutuhan akan cinta, kasih saying dan persahabatan.
Tidak terpenuhinya kebutuhan ini akan mempengaruhi kesehatan jiwa seseorang.
4.
Kebutuhan Akan
Penghargaan (Esteem Needs), mencakup terhadap penghormatan dan pengakuan diri.
Pemenuhan kebutuhan ini akan memengaruhi rasa percaya diri dan parties
seseorang.
5.
Kebutuhan
Aktualisasi Diri (Self-Actualization Needs), mencakup kebutuhan memberdayakan
seluruh potensi dan kemampuan diri. Kebutuhan ini merupakan tingkat kebutuhan
yang paling tinggi.
Dalam dunia
manajemen, kebutuhan-kebutuhan yang dikemukakan oleh Maslow tersebut dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:[18]
1.
Pemenuhan kebutuhan
fisiologi antara lain dapat diklasifikasikan dalam hal pemberian upah atau gaji
yang adil dan lingkungan kerja nyaman.
2.
Pemenuhan kebutuhan
keamanan antara lain dapat diklasifikasikan dalam hal pemberian tunjangan,
keamanan kerja dan lingkungan kerja yang aman.
3.
Pemenuhan kebutuhan
social antara lain dapat diklasifikasikan dalam hal dorongan terhadap kerja
sama, stabilitas kelompok dan kesempatan berinteraksi social.
4.
Pemenuhan akan
penghargaan antara lain dapat diklasifikasikan dalam hal penghormatan terhadap
jenis pekerjaan, signifikasi aktivitas pekerjaan dan pengakuan public terhadap
performance yang baik.
5.
Pemenuhan kebutuhan
aktualisasi diri antara lain dpat diklasifikasikan dalam hal pilihan dalam
beraktivitas dan tantangan pekerjaan.
Bila ditelaah lebih
dalam, berbagai tingkat kebutuhan yang dikemukan oleh Maslow di atas sepenuhnya
telah terakomodasi dalam konsep maqasid syari’ah. Bahkan, konsep yang telah
dikemukakan oleh al-Syatibi mempunyai keunggulan yang komparatif yang sangat
signifikan, yakni menempatkan agama sebagai faktor utama dalam elemen kebutuhan
dasar manusia, satu hal yang luput dari perhatian Maslow. Seperti yang telah
dimaklumi bersama, agama merupakan fitrah manusia dan menjadi faktor penentu
dalam mengarahkan kehidupan umat manusia di dunia ini.
Dalam perspektif
islam, berpijak pada doktrin keagamaan yang menyatakan bahwa pemenuhan
kebutuhan hidup manusia dalam rangka memperoleh kemaslahatan dunia dan akhirat
merupakan bagian dari kewajiban agama, manusia akan termotivasi selalu untuk
selalu berkreasi dan bekerja keras. Hal ini, pada akhirnya, tentu kan
meningkatkan produktivitas kerja dan perumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Kesimpulan
1.
Al-Syatibi menyimpulkan
bahwa hukum syariah dimaksudkan untuk melindungi lima kepentingan manusia yang
pokok: agama, jiwa, repreduksi, harta dan akal budi.
2.
Yang dimaksud dengan
maqasid syariah, yaitu syariah bertujuan untuk kemaslahatan manusia di dunia
dan akhirat. Konsep maqasid syariah menginginkan setiap individu
memperhatikan kesejahteraan mereka.
3.
Al-Syatibi membagi
maqashid al-syariah menjadi tiga bagian, yaitu:
a. Dharuriyat,
mencakup Agama (din), Kehidupan (nafs), Pendidikan (‘aql), Keturunan (nasl),
dan Harta (mal).
b. Hajiyat
c. Tahsiniyat
4.
Beberapa Pemikiran
Ekonomi Syatibi yakni di bidang objek kepemilikan dan pajak.
a. Objek
Kepemilikan
Pada
dasarnya, Syatibi mengakui hak milik individu. Namun, ia menolak kepemilikan
individu terhadap sumber daya yang dapat menguasai hajat hidup orang banyak.
b. Pajak
Pemungutan
pajak harus dilihat dari sudut pandang maslahah. Maslahah ini, yaitu
sesuatu yang berkaitan dengan tegaknya kehidupan manusia, terpenuhi kebutuhan
dan diperoleh apa yang diperlukan oleh sifat emosional dan intelektual, dalam
pengertian yang mutlak.
Sumber :
[1] Abdul Wahab Khallaf, Ilm Ushul Fiqh (Kairo: Dar al-Kuwaitiyah,
1968), hlm. 32.
[2] Fazlurrahman, Islam (Bandung: Penerbit Pustaka, 1894), hlm, 140.
[3] Al-Syatibi, al-Muwafaqat fi ushul al-syari’ah (kairo: Musthafa
Muhammad, t.th), Jilid 2, hlm. 374.
[4] Ibid., Jilid 1, hlm. 150.
[5] Ibid., Jilid 2, hlm. 25.
[6] Ibid., hlm. 8.
[7]Ibid ,
[8] Ibid., hlm. 16-17
[9] Asafri Jaya Bakri, Konsep
Maqasid Syari’ah Menurut Al-Syatibi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
1996), cet. Ke-1, hlm. 73
[10] Mustaf Anas Zarqa, Islamic Economics: an Approach to Human Walfare,
dalm Aidit Ghazali dan Syed Omar (ed.), Readings in The Concepts and
Methodology of Islamic Economics (Selangor Darul Ehsan: Pelanduk Publication,
1989), hlm. 35-36.
[11] Ibid, hlm. 38
[12] Muhammad Khalid Masud, Op. cit., hlm. 136.
[13] Ibid, hlm. 138-139.
[14] M. Fahim Khan, Shatibi’s Objectives of Shariah and Some
Implications for Consumer Theory, dalam Abul Hasan M. Sadeq dan Aidit Ghazali
(ed.), Readings in Islamic Economic Thought, hlm. 193.
[15] James H. Donelly, James L. Gibson dan John M. Ivancevich, Fundamentals
of Management ( New York: Irwin McGraw-hill 1998), hlm. 267.
[16] Ibid., hlm. 268.
[17] Ibid., hlm. 270-271.
[18] Ibid., hlm. 274.
Comments
Post a Comment