Skip to main content

Makalah sumber-sumber keuangan negara dalam islam

BAB I
PENDAHULUAN


1. Latar Belakang
Keuangan negara ialah semua hak yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu (baik berupa barang maupun uang) yan dapat dijadikan milik negara berhubung dengan hak-hak tersebut.[1]
Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatau baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.[2] Banyak para ahli mendefinisikan tentang keuangan negara yang tidak jauh berbeda pengertiannya satu sama lain. Berikut ini dikutip definisi keuangan negara yang umum dikenal dari beberapa para ahli antar lain sebagai berikut:
a.       Menurut M. Hadi (1984) keuangan negar adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban dimaksud.
b.      Menurut UU No 17/1965 yang kemudian dijelaskan dalam lemabaran negara No. 2776 adalah sebagai berikut. Dengan keuangan negar tidak hanya dimaksud uang negara, tetapi seluruh kekayaan negara termasuk didalamnya segala bagian-bagian harta milik itu dan segala hak serta kewajiban yang timbul karenanya, baik kekayaan itu berada dalam pengurusan pejabat-pejabat atau lembaga-lembaga yang termasuk pemerintahan maupun berada dalam penguasaan dan pengurusan bank-bank pemerintah, dengan status hukum public atau perdata.[3]
Keuangan negara sesungguhnya mempunyai arti luas, yaitu disamping meliputi milik negara atau kekayaan negara yang bukan semata-mata terdiri dari semua hak, juga meliputi semua kewajiban.Hak dan kewajiban tersebut baru dapat dinilai dengan uang apabila dilaksanakan.Sehingga rumusan pengertian keuangan negara adalah semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang, demikian pula segala sesuatu (baik uang maupun barang) yang menjadi kekayaan negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.[4]















BAB II
PEMBAHASAN


2.1. Keuangan negara pada masa Rasulullah SAW
Bicara mengenai keuangan negara pada masa Rasulullah adalah berangkat dari kedudukan beliau sebagai kepala negara. Demikian halnya dengan para sahabat Khulafa urrasyidin, juga yang ditempatkan sebagai kepala negara. Sebab, kedudukan sebagai kepala negara adalah identic dengan kedudukan melayani public.
Setelah rasulullah hijrah ke Madinah, maka Madinah dalam waktu singkat mengalami kemajuan yang pesat.Rasulullah berhasil memimpin seluruh pusat pemerintahan Madinah, menerapkan prinsip-prinsip dalam pemerintahan dan organisasi, membangun institusi-institusi, mengarahkan urusan luar negeri, membimbing para sahabatnya dalam memimpin dan pada akhirnya melepaskan jabatannya secara penuh. Sebagai negara yang baru terbentuk, ada beberapa hal yang segera mendapat perhatian beliau, seperti membangun masjid utama sebagai tempat untuk mengadakan forum bagi para pengikutnya, merehabilitasi muhajirin Makkah di Madinah, menciptakan kedamaian dalam negara, mengeluarkan hak dan kewajiban bagi warga negaranya, membuat konstitusi negara, menyusun pemerintahan Madinah, dan meletakkan dasar-dasar sistem keuangan negara.
            Dua hal penting yang telah dijalani dan diubah oleh Rasulullah pada waktu itu, pertama, adanya fenomena unik, yaitu bahwa islam telah membuang sebagian tradisi, ritual, norma-norma, nilai-nilai, tanda-tanda, dan patung-patung dari masa lampau dan memulai yang baru dengan negara yang bersih. Semua peraturan dan deregulasi disusun berdasarkan Al-quran, dengan memasukkan karakteristik dasar islam, seperti persaudaraan, persamaan, kebebasan, dan keadilan. Kedua, negara baru dibentuk tanpa menggunakan sumber keuangan ataupun moneter karena negara yang baru terbentuk ini sama sekali tidak diwarisi harta, dana, maupun persediaan dari masa lampaunya.




2.1.1        Sumber Utama Keuangan Negara
Pada masa awal pemerintahan kota Madinah, pendapatan dan pengeluaran hampir tidak ada.Rasulullah sendiri sebagai seorang kepala negara, pemimpin dibidang hukum, pemimpin dan penanggung jawab dari seluruhan administrasi tidak mendapat gaji sedikit pun dare negara atau masyarakat, kecuali hadiah kecil yang umumnya berupa bahan makanan.
Pada masa Rasulullah hampir seluruh pekerjaan yang dikerjakan tidak mendapatkan upah. Pada masa Rasulullah juga tidaak ada tentara formal. Semua muslim yang mampu boleh menjadi tentara. Mereka tidak mendapatkan gaji tetap, tetapi mereka diperbolehkan mendapatkan bagian dare rampasan perang, seperti senjata, kuda, unta, dan barang-barang bergerak lainnya,.
Situasi berubah setelah turunnya surah Al-Anfal (rampasan perang).Waktu turunnya surah tersebut adalah masa antara perang Badr dan pembagian rampasan perang, pada tahun kedua setelah Hijriah. Yaitu sebuah ayat yang artinya “Seperlima bagian adalah untuk Allah dan Rasul-Nya (yaitu untuk negara digunakan untuk kesejahteraan umum) dan untuk kerabat Rasul, anak yatim, orang yang membutuhkan dan orang yang sedang dalam perjalanan”
Pada tahun kedua setelah hijriah, sedekah fitrah diwajibkan.Sedekah ini diwajibkan setiap bulan Ramadhan.Semua zakat adalah sedekah, sedangkan sedekah wajib disebut zakat.Zakat mulai diwajibkan pembayarannya pada tahun kesembilan hijriah. Dengan adanya perintah wajib ini, mulai ditentukan para pegawai pengelolanya, yang mana mereka tidak digaji secara resmi, tetapi mereka mendapat bayaran tertentu dare dana zakat.
Sampai tahun keempat hijriah, pendapatan dan dana sumber daya negara masih sangat kecil. Kekayaan pertama diperoleh dari Bani Nadir, salah satu suku yang tinggal dipinggiran Madinah.Kelompok ini pernah mengikuti Pakta Madinah, tetapi mereka melanggar perjanjian, bahkan berusaha membunuh Rasulullah. Nabi meminta mereka meninggalkan kota tetapi mereka menolaknya.Nabi pun mengerahkan tentara dan mengepung mereka. Akhirnya, mereka menyerah dan setuju meninggalkan kota dengan membawa barang-barang sebanyak daya angkut mereka, kecuali baju baja. Semua milik Banu Nadir yang ditinggal menjadi milik Rasulullah menurut ketentuan Al-Quran, karena mereka mendapatkannya tanpa berperang.Rasulullah membagikan sebagian besar tanah mereka kepada Muhajirin dan orang Anshar yang miskin.Bagian Rasulullah digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Mukhairik, seorang rabbi Banu Nadir, yang telah masuk islam memberikan tujuh kebunnya yang kemudian oleh Rasulullah dijadikan tanah sedekah. Inilah waqaf islam pertama.
Khaibar dikuasai pada tahun ketujuh hijriah.Penduduknya menentang dan memerangi kaum muslim. Setelah pertempuran selama sebulan, mereka menyerah dengan syarat dan berjanji meninggalkan tanahnya.Syarat yang diajukan diterima.Mereka mengatakan kepada Rasulullah, “kami memiliki pengalaman khusus dalam bertani dan berkebun kurma,” dan meminta izin untuk tetap tinggal disana.Rasulullah mengabulkan permintaan mereka dan memberikan mereka setangah bagian hasil panen dari tanah mereka.
Jizyah adalah pajak yang diabayarkan oleh orang non-muslim khususnya ahli kitab, untuk jaminan perlindungan jiwa, harta atau kekayaan, ibadah, bebas dari nilai-nilai dan tidak wajib militer.Pada zaman Rasulullah, besarnya jizyah adalah satu dinar per tahun untuk orang dewasa yang mampu membayarnya.Pembayaran tidak harus berupa uang tunai, tetapi dapat juga berupa barang atau jasa.
Kharaj atau pajak tanah dipungut dare non-muslam ketika Khaibar ditaklukkan. Tanahnya diambil alih oleh orang muslim dan pemilik lamanya menawarkan untuk mengolah tanah tersebut sebagai pengganti sewa tanah dan bersedia memberikan sebagian hasil produksi kepada negara. Jumlah kharaj dare tanah ini tetap, yaitu setengah dare hasil produksi.Rasulullah biasanya mengirim orang yang memilki pengetahuan dalam masalah ini untuk memperkirakan jumlahh hasil produksi.Setelah mengurangi sepertiga sebagai kelebihan perkiraan, dua per tiga bagian dibagiakan dan mereka bebas memilih, menerima atau menolak pembagian tersebut. Prosedur yang sama juga diterapkan di daerah lain. Kharaj ini menjadi sumber pendapatan yang penting.
Ushr adalah bea impor yang dikenakan kepada semua pedagang, dibayar hanya sekali dalam setahun dan hanya berlaku terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham. Rasulullah berinisiatif mempercepat peningkatan perdagangan, walaupun menjadi beban pendapatan negara.Ia menghapus semua bea masuk dan dalam banyak perjanjian dengan berbagai suku menjelaskan hal tersebut. Barang-barang milik utusan dibebaskan dari bea impor di wilayah muslim, bila sebelumnya telah terjadi tukar menukar barang.
Zakat dan ushr merupakan pendapatan yang paling utama bagi negara pada masa Rasulullah. Zakat dan ushr merupakan kewajiban agama dan termasuk salah satu pilar Islam. Pengeluaran untuk keduanya telah diatur dalam al-quran surah At-Taubah ayat 60, sehingga pengeluaran untuk zakat  tidak dapat dibelanjakan untuk pengeluaran umum negara. Pada masa Rasulullah zakat dikenakan pada hal-hal sebagai berikut:
ü  Benda logam yang terbuat dari emas, seperti koin, perkakas, ornament atau dalam bentuk lainnya.
ü  Benda logam ynag terbuat dari perak, seperti koin, perkakas, ornament atau dalam bentuk lainnya.
ü  Binatang ternak, seperti sapi, unta, domba, kambing.
ü  Berbagai jenis barang dagangan termasuk budak dan hewan.
ü  Hasil pertanian termasuk buah-buahan.
ü  Luqatah
ü  harta benda yang ditinggalkan musuh.
Pencatatan seluruh penerimaan negara pada masa Rasulullah tidak ada. Dalam kebanyakan kasus pencatatan diserahkan pada pengumpul zakat, setiap orang pada umumnya terlatih dalam masalah pengumpulan zakat.

2.1.2        Sumber Sekunder Keuangan Negara
Disamping sumber-sumber pendapatan primer yang digunakan sebagai penerimaan fiscal pemerintahan pada masa Rasulullah, ada sumber pendapatan sekunder, diantaranya adalah:
ü  Uang tebusan untuk para tawanan perang. Pada perang Hunain, enam ribu tawanan dibebaskan tanpa uang tebusan.
ü  Pinjaman-pinjaman (setelah penaklukan kota Makkah)  untuk pembayaran uang pembebasan kaum muslimin dari Judhaima atau sebelum pertempuran Hawazin 30.000 dirham (20.000 dirham menurut Bukhari) dari Abdullah bin Rabiah dan meminjam beberapa paakaian dan hewan-hewan tunggangan dari Sofyan bin Umaiyah.
ü  Khumus atas rikaz harta karun temuan pada periode sebelum Islam.
ü  Anwal fadhla (berasal dari harta benda kaum muslimin yang meninggal tanpa waris, atau berasal dare pbarang-barang seorang muslim yang meninggalkan negerinya).
ü  Wakaf, harta benda yang didedikasikan kepada umat Islam yang disebabkan karena Allah dan pendapatannya akan didepositokan di baitul maal.
ü  Nawaib, yaitu pajak yang jumlahnya cukup besar yang dibebankan kepada kaum muslimin yang kaya dalam rangka menutupi pengeluuaran negar selama masa darurat dan ini pernah terjadi pada masa perang Tabuk.
ü  Zakat fitrah.
ü  Bentuk lain sedekah seperti qurban dan kaffarat.

2.1.3    Lembaga Keuangan Negara: Baitul Maal
Rasulullah adalah kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara diabad ketujuh, yaitu semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara.Hasil pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik individu. Tempat pengumpulan ini disebut Baitu Maal  atau bendahara negara.[5]


2.2      Keuangan Negara Pada Masa Khulafaurrasyidin
2.2.1        Masa kekhalifahan Abu Bakar As Siddiq
Abu Bakar Siddiq terpilih menjadi khalifah dalam kondisi miskin, sebagai pedagang dengan hasil yang tidak mencukupi kebutuhan keluarganya.Sejak menjadi kalifah, kebutuhan keluarga Abu Bakar diurus oleh kekayaan dari Baitul Maal ini.Menurut beberapa keterangan, beliau diperbolehkan mengambil dua setengah atau dua tiga perempat dirham setiap harinya dari Baitul Maal dengan tambahan makanan berupa daging domba dan pakaian biasa. Setelah berjalan beberapa waktu, ternyata tunjangan tersebut kurang mencukupi sehingga ditetapkan 2.000 atau 2.500 dirham dan menurut keterangan lain  6.000 dirham pertahun.
Selama sekitar 7 tahun kepemimpinannya, Abu Bakar sangat memperhatikan keakuratan perhitungan zakat. Zakat selalu didistribusikan setiap periode dengan tanpa sisa. Sistem pendistribusian ini tetap dilanjutkan, bahkan hingga beliau wafat hanya satu dirham yang tersisa dalam perbendaharaan keuangan. Sumber pendapatan negara yang semakin menipis, menjelang mendekati wafatnya menyebabkan kekayaan pribadinya dipergunakan untuk pembiayaan negara.

2.2.2        Masa kekhalifahan Umar bin Khatab Al-Faruqi
Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat berkaitan dengan masalah kebijakan keuangan negara pada masa khalifah Umar, diantaranya adalah:
1)      Baitul Maal
Pada tahun 16 H, Umar mengumpulkan dana kharaj  senilai 500.000 dirham, hasil dari Abu Huraira, Amil Bahrain, untuk disimpan sebagai cadangan darurat, membiayai angkatan perang, dan kebutuhan lain untuk umat. Untuk menyipan dana tersebut, maka Baitul Maal regular dan permanen didirikan untuk pertama kalinya di ibukota, kemudian dibangun cabang-cabangnya di ibukota provinsi. Setelah menaklukkan Syria, Sawad, dan Mesir, pengahasilan Baitul Maal meningkat.
Property Baitul Maal dianggap sebagai “harta kaum muslim” sedangkan khalifah dana mi-amilnya hanyalah pemegang keprcayaan. Jadi, merupakan tanggung jawab negara untuk menyediakan tunjangan yang berkesinambungan untuk janda, anak yatim, anak terlantar, membiayai penguburan orang miskin, membayar hutang orang-orang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu, dan untuk memberikan pinjaman tanpa bunga untuk urusan komersial. Bahkan Umar pernah meminjam sejumlah uang untuk kebutuhan pribadinya.
Bersamaan denga reorganisasi Baitul Maal, Umar mendirikan lembaga keuangan negara pertama yang disebut al-Diwan. Sebenarnya itu adalah sebuah kantor yang ditujukan untuk mengurusi pembayaran tunjangan-tunjangan angkatan perang dan pension serta tunjangan-tunjangan lainnya dalam bisnis yang regular dan tepat.
2)      Kepemilikan tanah
Umar menerapkan beberapa peraturan untu kepemilikan, yaitu:
ü  Wilayah Iraq yang ditaklukkan dengan kekuatan, menajdi milik muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada dibawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
ü  Kharaj dibebankan pada semua tanah yang berada dibawah kategori pertama, meskipun pemilik tersebut kemudian memeluk Islam. Dengan demikian, tanah seperti itu tidak dapat dikonversikan menjadi tanah ushr.
ü  Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan, sepanjang merka membayar kharaj dan jizyah.
ü  Sisa tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Basra) bila ditanami oleh kaum muslim diperlakukan sebagai tanah ushr.
ü  Di Sawad, kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rafiz (satu ukuran local) gandum dan barley (jenis gandum), dengan anggapan tanah tersebut dapat dilalui air. Harga yang llebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah dan cengkeh) dan perkebunan.
ü  Di Mesir, menurut sebuah perjanjian Amar, dibebankan dua dinar, bahkan hingga tiga Irdap gandum, dan dua qist untuk setiap minyak, cuka, dan madu, rancangan ini telah disetujui Khalifah.
ü  Perjanjian Damaskus (Syria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum muslim. Beban per kepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah.
3)      Zakat dan Ushr
Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu jenis kedua. Sebelum Islam, setiap suku atau kelompok suku yang tinggal dipedesaan biasa membayar pajak (ushr) pembelian dan penjualan (maqs).
4)      Pembayaran Sedekah oleh non-Muslim
Umar mengenakan jizyah kepada mereka, tetapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak membayar jizyah dan malah membayar sedekah.Namun, Ibn Zuhramemberikan alasan untuk kasus mereka.Ia mengatakan bahwa pada dasarnya tidaklah bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan harusnya keberanian mereka menjadi asset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedekah yang harus mereka bayar, dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seorang anak atau memaksakannya untuk menerima kepercayaan mereka. Mereka pun menyetujui dan menerima membayar sedekah ganda.
5)      Mata Uang
Pada masa Nabi dan sepanjang masa Khulafaurrasyidin mata uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti dinar, sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak.                                                                           
6)      Klasifikasi Pendapatan Negara
Pada periode awal Islam, para khalifah mendistribusikan semua pendapatan yang diterima.Kebijakan tersebut berubah pada masa Umar. Pendapatan yang diterima di Baitul Maal terbagi dalam emapat jenis, yaitu:
ü  Zakat dan Ushr
ü  Khums dan Sedekah
ü  Kharaj, fay, jizyah, ushr dan sewa tetap tahunan tanah
ü  Berbagai macam pendapatan yang diterima dari semua macam sumber
ü  Pengeluaran

2.2.4        Masa Kekhalifahan Usman
Usman bin Affan adalah khalifah ketiga. Pada enam tahun pertama kepemimpinanya, Balkh, Kabul, Ghazni, Kerman, dan Sistan ditaklukkan.Untuk menata pendapatan baru, kebijakan Umar diikuti. Tidak lama setelah negara-negara tersebut ditaklukkan, kemudian tindakan efektif diterapkan dalam rangka pengembangan sumber daya alam. Aliran air digali, jalan dibangun, pohon buah-buahan ditanam dan keamanan perdagangan diberikan dengan cara pembentukan organisasi kepolisian tetap.
Khalifah Usman tidak mengambil upah dari kantornya. Sebaliknya, dia meringankan beban pemerintah dalam hal yang serius. Dia bahkan menyimpan uangnya di bendahara negara. Hal ini menimbulkan kesalah pahaman antara Khalifah dan Abdullah bin Arqam, salah seorang sahabat Nabi yang terkemuka, yang berwenang meaksanakan kegiatan Baitul Maal Pusat. Beliau juga berusaha meningkatkan pengeluaran pertahanan dan kelautan, meningkatkan dana pension dan pembangunan di wilayah taklukan baru, Khalifah membuat beberaa perubahan administrasi dan meningkatkan kharaj dan jizyah dare mesir.
Lahan luas yang dimiliki keluarga kerajaan Persia diambil alih oleh Umar, tetapi ia menyimpannya sebagai lahan negara tidak dibagi-bagi. Sementara itu, Usman membaginya kepada individu-individu untuk reklamasi dan kontribusi sebagai bagian yang diprosesnya kepada baitul maal. Dilaporkan bahwa lahan ini pada masa Umar menghasilkan Sembilan juta dirham, tetapi pada masa Usman ketika lahan telah dibagikan kepada individu-individu, penerimaannya meningkat menjadi lima puluh juta. Pada periode selanjutnya dia juga mengizinkan menukar lahan tersebut dengan lahan yang ada di Hijaz dan Yaman, sementara kebijakan Umar tidak demikian.

2.2.5    Masa Kekhalifahan Ali bin Abi Thalib
Setelah meninggalnya Usman, Ali terpilih sebagai Khalifah dengan suara bulat.Ali menjadi khalifah selama 5 tahun.Kehidupan Ali sangat sederhana dan dia sangat ketat dalam menjalankan keuangan negara. Gubernur Ray dijebloskan kepenjara oleh khalifah dengan tuduhan penggelapan uang negara.
Dalam hal penerimaan negara, Ali masih membebankan pungutan khums atas ikan atau hasil ikan. Menurut Baladhuri, Ali membebankan para pemilik hutan (Ajmat) 4.000 dirham. Dihutan ini, terdapat ngarai yang dalam, yang menurut beberapa orang, tanahnya dibuat untuk batu-batu istana, dan menurut yang lainnya, ini adalah tanah longsor.
Berbeda dengan khalifah Umar, khalifah Ali mendistribusikan seluruh pendapatan di baitul maal ke provinsi yang ada di baitul maal Madinah, Busra dan Kuffa. Sistem distribusi setiap pekan sekali untuk pertama kalinya diadopsi. Hari kamis adalah hari pendistribusian atau hari pembayaran dan hari itu semua penghitungan diselesaikan dan pada hari sabtu dimulai perhitungan baru.
Dalam hal alokasi pengeluaran masih tetap sama sebagaimana halnya pada masa kepemimpinan Umar. Pengeluaran untuk angkatan laut yang ditambah jumlahnya pada masa kepemimpinan Usman hampir dihilangkan seluruhnya karena daerah sepanjang garis pantai seperti Syria, Palestina dan Mesir berada dibawah kekuasaan Muawiyah. Namun, dengan adanya penjaga malam dan patroli (diciptakan oleh Umar), khalifah keempat tetap menyediakan polisi regular yang terorganisasi, yang disebut Shurta, dan pemimpinnya diberi gelar Shahibush-Shurta. Fungsi lain dari Baitul Maal masih tetap sama seperti yang dulu dan tidak ada perkembangan aktivitas yang berarti pada periode ini.[6]

2.3  Karakteristik Keuangan Islam
2.3.1       Prinsip Penerimaan Publik
Dari tinjauan sejarah mengenai penerimaan publik islam dapat ditunjukkan bervariasinya bentuk-bentuk sumber pendanaan publik, baik yang sudah ditentukan oleh Al-qur’an saperti zakat, ghanimah, maupun yang ditentukan oleh pemerintah saat itu seperti kharaj, khumuz, jizyah, dan sebagainya. Adapun prinsip-prinsip yang diterapkan dalam penerimaan publik islam yaitu :
a.       Sistem pungutan wajib (dharibah) harus menjamin bahwa hanya golongan kaya dan mempunyai kelebihanlah yang memikul beban utama dharibah.
b.      Berbagai pungutan dharibah tidak dipungut atas besarnya input/sumber daya yang digunakan, melainkan atas hasil usaha ataupun tabungan yang terkumpul.
c.       Islam tidak mengarahkan pemerintah mengambil sebagian harta milik masyarakat secara paksa, meskipun kepada orang kaya.
d.      Islam memperlakukan kaum muslimin dan non-muslim secara adil. Pungutan dikenakan proorsional terhadap manfaat yang diterima pembayar.
e.       Islam telah menentukan sektor-sektor penerimaan pajak menjadi empat jenis, yaitu :
ü Zakat
ü Asset atau kekayaan non keuangan
ü Dharibah, meliputi jizyah, kharaj, ushr, nawaib, dan sebagainya.
ü Penerimaan publik sukarela, yang meliputi infaq, sedekah, wakaf, hadiah dan sebagainya.[7]
2.3.2        Prinsip Pengeluaran Publik
Berdasarkan analisis ekonomi terhadap sejarah pengeluaran publik islam semasa Rasulullah Saw dan khulafaurrasyidin serta kaidah fiqih muamalah pada hakikatnya prinsip utama dalam pengalokasian dana publik adalah peningkatan mashlahat tertinggi. Secara umum belanja Negara dikategorikan menjadi empat, yaitu :
a.    Pemberdayaan fakir miskin dan muallaf. Dana ini pada umumnya diambil dari zakat dan ushr.
b.    Biaya rutin pemerintahan. Dana ini pada umumnya diambil dari kharaj, fai, jizyah dan ushr.
c.    Biaya pembangunan dan kesejahteraan sosial. Dana ini pada umumnya diambil dari dana lainnya yaitu khumus dan sedekah.
d.   Biaya lain, seperti biaya emergency, pengurusan anak terlantar, dan sebagainya. Dana ini pada uumumnya diambil dari wakaf, utang publik, dan sebagainya.

Dengan empat jenis alokasi keuangan publik diatas, besaran dan skala prioritas alokasi tidaklah selalu sama setiap Negara ataupun waktu. Prinsip yang harus diterapkan dalam pengeluaran publik adalah:
a.    Alokasi zakat merupakan kewenangan Allah, bukan kewenangan amil, ataupun pemerintah. amil hanya berfungsi menjalankan managemen zakat sehingga dapat dicapai pendistribusiannya yang sesuai ajaran islam.
b.    Penerimaan selain zakat dialokasikan mengikuti beberapa prinsip pokok,diantaranya:
ü  Belanja negara harus diarahkan untuk mewujudkan semaksimal mungkin mashlah
ü  Menghindari musyaqqah kesulitan dan mudharat didahulukan daripada melakukan perbaikan.
ü  Mudharat individu dapat dijadikan alasan demi menghindari mudharat dalam skala yang lebih luas.
ü  Pengorbanan individu dapat dilakukan dan kepentingan individu dapat dikorbankan demi menghindari kerugian dan pengorbanan dalam skala umum.
ü  Manfaat publik yang didistribusikan adalah seimbang dengan penderitaan atau kerugian yang ditanggung.
ü  Jika suatu belanja merupakan syarat untuk ditegakkannya syariah islam, maka belanja tersebut harus diwajibkan.[8]

2.3.3        Keseimbangan Sektor Publik dan Anggaran
Dengan  mempertimbangkan aspek penerimaan dan pengeluaran sektor publik, maka dimungkinkan terjadi adanya kelebihan penerimaan publik (surplus) ataupun defisit sektor publik. Namun, karena alokasi zakat sudah ditentukan oleh Allah dan bukan merupakan kewenangan amil untuk menentukan, maka dimungkinkan terjadi pada suatu waktu terdapat sisa dana zakat bersamaan dengan belum terpenuhinya kebutuhan yang tidak dimungkinkan dibiayai dengan zakat. Misalnya, biaya rutin pemerintahan dan militer, dalam sepanjang sejarah islam tidak dibiayai dari zakat, namun dari pendapatan lain jika memungkinkan seperti ghanimah dan jizyah. Namun disisi lain, hal yang sebaliknya tidak mungkin terjadi, yaitu ketika terjadi surplus di penerimaan publik non-zakat, maka surplus ini bisa digunakan untuk menutupi kekurangan-kekurangan distribusi dari zakat.
Meskipun Rasulullah tidak melakukan estimasi tahanan mengenai berapa besar belanja yang dibutuhkan dan sumber-sumber penerimaannya, namun beliau telah melakukan penyeimbangan antara tujuan dan instrument pemerintah, dalam arti penerimaan dan pengeluaran pemerintah. konsep anggaran yang merupakan suatu rancangan kegiatan dan pendekatan terhadap pengeluaran pemerintah pada setiap segmen adalah merupakan hal yang relatif baru dalam sejarah islam. Dengan demikian, tidak diperoleh informasi normatif mengenai bagaimana proses penyusunan anggaran maupun besarnya dalam perspektif islam.

2.3.4        Instrumen Pembiayaan Publik
1)      Zakat
Pengeluaran/pembayaran zakat dalam islam mulai efektif dilaksanakan sejak setelah hijrah dan terbentuknya Negara islam di Madinah. Orang yang beriman dianjurkan untuk membayarkan sejumlah tertentu dari hartanya, dalam bentuk zakat. Pembayaran zakat merupakan kewajiban agama dan merupakan salah satu dari lima rukun islam. Kewajiban itu berlaku bagi setiap muslim yang telah dewasa, merdeka, berakal sehat dan memiliki harta itu setahun penuh dalam memenuhi nisabnya.
2)      Asset dan Perusahaan Negara
Selain mendapatkan penerimaan berupa zakat, negara islam memiliki sumber pendanaan negara dalam bentuk barang, yaitu ghanimah dan fai. Kedua harta ini diperoleh dari masyarakat non-muslim, baik melalui pemaksaan perang ataupun melalui jalan damai. Harta ghanimah bukanlah tujuan utama peperangan, tetapi harta ghanimah sebagian besar digunakan untuk kesejahteraan tentara dan sebagian kecil untuk umat islam. Anggota pasukan akan mendapatkan bagian sebesar empat perlima atau 80 %, Al-qur’an telah mengatur hal ini secara jelas dalam QS. Al-Anfal ayat 41. Sedangkan fai merupakan sumber penerimaan dari Negara islam dan sumber pembiayaan Negara. Gambaran mengenai fai terdapat pada Al-qur’an surah Al-Hasyr ayat 6-7.[9]
3)      Kharaj
Kharaj atau biasa disebut pajak tanah. Dalam pelaksanaannya, kharaj dibedakan menjadi dua macam, yaitu proporsional dan tetap. Secara proporsional artinya dikenakan ssebagai bagian total dari bagi hasil produksi pertanian, misalnya seperempat, seperlima dan sebagainya. Secara tetap artinya pajak tetap atas tanah. Dengan kata lain, kharaj proporsional tidak tetap tergantung pada hasil dan harga setiap jenis hasil pertanian. Kharaj tetap dikenakan pada setahun sekali. Selama pemerintahan islam, kharaj menjadi sumber penerimaan utama dari Negara islam, dana itu dikuasai oleh komunitas dan bukan kelompok-kelompok tertentu.
4)      Jizyah
Salah satu cirri khas masyarakat muslim adalah menjaga saudaranya muslim ataupun non-muslim dari rasa aman. Oleh karena itu, pada masa Rasulullah, orang-orang Kristen dan yahudi, dikecualikan dari kewajiban menjadi anggota militer di Negara islam. Mereka memperoleh konsesi bahwa Negara islam akan menjamin keamanan pribadi dan hak milik mereka. Sebagai gantinya orang-orang non-muslim diwajibkan dengan mengganti pembayaran jizyah. Dijelaskan dalam Al-qur’an QS. At-Taubah : 29.
Mesipun jizyah merupakan hal yang wajib, namun dalam islam ada ketentuan yaitu bahwa jizyah dikenakan kepada seluruh non-muslim dewasa laki-laki yang mampu membayarnya. Sedangkan bagi perempuan, anak-anak, orang tua dan pendeta dikecualikan sebagai kelompok yang tidak wajib ikut bertempur dan tidak diharapkan mampu ikut bertempur.
5)      Wakaf
Dalam hukum islam, wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya digunakan sesuai dengan syari’at islam. Makin banyak hasil harta wakaf yang dapat dinikmati oleh yang berhak, makin besar pula pahala yang akan mengalir kepada wakif.



















BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara; yang dimaksud dengan Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang, serta segala sesuatau baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut
Sumber-sumber keuangan publik pada masa Rasulullah didapat dari hasil rampasan perang maupun pajak yang berupa jizyah, ushr, kharaj dan sebagainya. Sumber-sumber keuangan publik tersebut juga merujuk kepada Al-qur’an yang berupa zakat dan ghanimah. Selain berupa zakat, sumber keuangan publik mayoritas bersifat sukarela, yaitu dalam bentuk wakaf,, infaq dan shodaqah.
Di dalam keuangan publik terdapat sebuah prinsip yang harus diterapkan dalam pengeluaran publik yaitu tertuju pada ketentuan zakat. Bahwa alokasi zakat merupakan kewenangan Allah, bukan kewenangan amil atau pemerintah. Amil hanya berfungsi menjalankan menegemen zakat sehingga dapat dicapai pendistribusian sesuai dengan syariat islam. Prinsip lainnya adalah bahwa islam memperlakukan kaum muslim dan non-muslim secara adil
Instrumen pembiayaaan publik
·         Zakat
·         Asset perusahaan negara
·         Jizyah
·         Kharaj
·         Waqaf



   





sumber :

[1]Yuswar Zainul Basri & Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Uang Luar Negeri, (Jakarta, 2005), hlm. 1
[2]H. Soeradi, Pengelolaan Keuangan Negara di Era Otonomi Daerah, (Yogyakarta, 2014), hlm. 7
[3]Ibid
[4]Yuswar Zainul Basri & Mulyadi Subri, Keuangan Negara dan Analisis Kebijakan Uang Luar Negeri, (Jakarta, 2005), hlm. 1

[5] Dr,Muhammad Asraaf Dawwabah, Al Iqtishad al Islamy Madkhalun wa Manhajun, Darussalam, Kairo, 2010.
[6]Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta atas Kerja Sama Dengan Bank Indonesia, Ekonomi Islam, Depok (2008), hlm. 486
[7] Pusat Pengkajian dan Pengembangan Ekonomi Islam (P3EI), Ekonomi Islam, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2008) 
[8] Ibid      
[9] ibid

Comments

Popular posts from this blog

kaidah Qawaid Fiqhiyyah : "Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya"

  Kaidah Fiqh اَلْعِبْرَةُبِالْمَقَاصِدِوَالْمُسَمِّيَاتِ لاَبِالْأَلْفَاظِ وَالتَسْمِيَاتِ “Yang jadi patokan adalah maksud dan substansi, bukan redaksi ataupun penamaannya.” Kaidah ini memberi pengertian bahwa yang jadi patokan adalah maksud hakiki dari kata-kata yang diucapkan atau perbuatan yang dilakukan bukan redaksi ataupun penamaan yang digunakan. Dan dari kaidah ini,bercabanglah satu kaidah lain yang melengkapinya, yang disebutkan dalam Jurnal Al-Ahkam Al-Adliyyah, yakni kaidah: اَلْعِبْرَةُ فىِ اْلعُقُوْدِ بِالْمَقَاصِدِ وَالْمَعَانِي لَا بِالْأَلْفَاظِ وَالْمَبَانِي “Yang dijadikan pegangan dalam transaksi (akad) adalah maksud dan pengertian bukan redaksi ataupun premis.” Makna Kaidah Dari kaidah ini dipahami bahwa saat transaksi dilangsungkan, yang menjadi patokan bukanlah redaksi yang digunakan kedua pihak yang melangsungkan transaksi, melainkan maksud hakiki mereka dari kata-kata yang diucapkan dalam transaksi tersebut. Sebab, maksud hakikinya adalah penge

Departementalisasi Organsasi

Pengertian Departementalisasi Organsasi Departementalisasi adalah proses penentuan cara bagaimana kegiatan yang dikelompokkan. Beberapa bentuk departementalisasi sebagai berikut : •           Fungsi •           Produk atau jasa •           Wilayah •           Langganan •           Proses atau peralatan •           Waktu •           Pelayanan •           Alpa – numeral •           Proyek atau matriks 1.       Departementalisasi Fungsional               Departentalisasi fungsional mengelompokkan fungsi – fungsi yang sama atau kegiatan – kegiatan sejenis untuk membentuk suatu satuan organisasi. Organisasi fungsional ini barangkali merupakan bentuk yang paling umum dan bentuk dasar departementalisasi. kebaikan utama pendekatan fungsional adalah bahwa pendekatan ini menjaga kekuasaan dan kedudukan fungsi- funsi utama, menciptakan efisiensi melalui spesialisasi, memusatkan keahlian organisasi dan memungkinkan pegawai manajemen kepuncak lebih ketat terhadap fungs

kaidah qawaid fiqhiyyah :"Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang"

لاَ يَتِمُّ التَّبَرُّعُ إِلاَّ بِالقَبْضِ   “ Tidak sempurna akad Tabarru’ kecuali dengan penyerahan barang”  berbicara tentang kaidah ini maka penulis akan menjelaskan terlebih dahulu, yaitu : Pengertian Akad Akad adalah salah satu sebab dari yang ditetapkan syara’ yang karenanya timbullah beberapa hukum. Dengan memperhatikan takrit akad, dapatlah dikatakan bahwa akad itu adalah suatu perbuatan yang sengaja dibuat oleh dua orang berdasarkan persetujuan masing-masing. [1] Akad termasuk salah satu perbuatan hukum (tasharruf) dalam hukum Islam. Dalam terminology fiqih akad diartikan sebagai pertalian antara ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh terhadap objek perikatan. Sesuai kehendak syariat maksudnya bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak dianggap sah apabila tidak sesuai dengan kehendak  syariat. [2] Rukun merupakan hal yang harus dipenuhi agar suatu per